business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Tampilkan postingan dengan label uncategorized. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label uncategorized. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Februari 2015

LAYANAN RAMAH, ANTUSIAS, DAN TULUS - By: Coach Suwito

Pernahkah Anda berbelanja di pedagang kaki lima? Saya pernah.
Ada 'kenikmatan' tersendiri ketika kita belanja di kaki lima, antara lain: pilihannya banyak dan bisa menawar sesuka hati. Kadang, kita beruntung karena mendapat layanan yang ramah, seperti pengalaman saya berikut ini.
Pagi itu, saya kebetulan punya waktu lowong dan di depan hotel ada beberapa pedagang yang menggelar dagangannya. Ehm...lumayan buat beli oleh-oleh. Nggak perlu jauh-jauh ke toko souvenir.
Saya memperhatikan istri saya yang sibuk memilih. Dengan ramahnya si penjual menuruti permintaan istri saya. Dia minta warna yang cerah dan ukuran lebih kecil (untuk cucu kami). Si penjual pun bergegas mengambil koleksi yang ada di temannya, sesama pedagang. Ini terjadi beberapa kali, dan si penjual mondar mandir memenuhi permintaan istri saya. Singkat kata, akhirnya istri saya membayar belajaannya.
Petangnya kami singgah di sebuah toko souvenir terkenal di kota itu. Dan barang-barang serupa juga ada disitu, tentu dengan harga yang lebih mahal. Tapi, yang mengecewakan adalah layanannya tidak ramah. Si penjual kaki lima jauh lebih ramah, mau melayani dengan antusias dan tulus.
Tentu saja, di toko seperti ini harga tak bisa ditawar dan lebih mahal. Karena toko ini berpendingin/AC, punya lahan parkir, punya tempat bermain untuk anak-anak dan juga ada sebuah cafe (buat nongkrong sejenak setelah penat berbelanja).
Sebelum meninggalkan toko, saya pun menyempatkan diri menuliskan pesan/feedback yang intinya: “Pemilik Toko yang terhormat, Anda berpeluang untuk lebih maju dan sukses, dengan cara meningkatkan keramahan, antusiasme dan ketulusan karyawan Anda”.
Anda, pembaca Biz-tips, juga berpeluang mendapat feedback tentang bisnis Anda dari para Coach Baracoaching.


Senin, 26 Januari 2015

PRODUK IDAMAN - By: Coach Suwito

 “Kalau udah (jelas-jelas) punya produk idaman, itu sih pasti gampang mendatangkan pembeli. Karena udah ada daya tariknya, maka pastilah pembeli akan datang dengan sendirinya.” Begitu sanggah salah satu klien saya.
Masalahnya, perusahaan saya masih baru dan produknya juga menggunakan merk baru, kan sulit mendatangkan pembeli. Apalagi mendapatkan pembeli fanatik,” lanjutnya dengan nada tinggi, seolah ingin meyakinkan saya bahwa praktek tidak semudah teori.
Iya, betul. Pada kenyataannya memang sulit dan tidak banyak orang yang berhasil memperkenalkan produk barunya hanya dalam waktu singkat.Demikian saya menanggapinya.
Sebuah produk baru atau merk baru, memang tidak mungkin langsung moncer atau terkenal. Harus ada langkah pendahuluan atau istilahnya: promosi. Tanpa promosi, mana mungkin calon pembeli tahu tentang produk atau merk kita.
Promosi adalah upaya untuk memperkenalkan diri, memperkenalkan keunggulan produk baru dan sekaligus memperkenalkan merk baru. Ada banyak cara memperkenalkan diri dan juga ada banyak media yang bisa digunakan untuk itu.
Tapi, yang lebih dulu kita pikirkan adalah: produk ini bakal bermanfaat bagi siapa? Karena itu, sebelum berpromosi, sebaiknya kita tahu: siapa yang nantinya kita harapkan sebagai pengguna produk kita? Dalam teori marketing dikatakan: kita harus tahu target market dan segmentasinya.
Ketika diperkenalkan pertama kalinya, Teh Botol langsung disukai karena kemudahannya. Tanpa perlu menyeduh, kita langsung bisa menikmati kesegaran teh, dimanapun dan kapanpun. Saat itu, tak ada yang berpikir bahwa teh itu bisa dikemas dalam botol. Tapi, sekarang sudah banyak perusahaan dan merk yang menawarkan kesegaran (dan kepraktisan) air teh. Kepraktisan, juga menjadi ide awal air minum dalam kemasan. Air bersih, sehat (mengandung mineral) yang bisa diminum kapan dan dimana saja.
Pernahkah Anda memikirkan, siapa kira-kira yang bakal jadi pembeli produk Anda? Apa saja yang diharapkan dari produk kita? Lalu, bisakah kita melebihi harapan para pembeli itu?

Kepada Anda, para pembaca artikel ini, yang sudah tahu jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas, silahkan share. Mari berbagi pengalaman, siapa tahu jawaban Anda bisa menginspirasi teman-teman kita. Kirimkan pengalaman Anda ke : suwito@baracoaching.com.

Kamis, 22 Januari 2015

BEKERJA DENGAN ‘HATI’ - By : Coach Suwito

Begitu keluar dari bandara, saya langsung menuju taxi favorit saya. Setelah duduk, saya sebutkan nama sebuah hotel yang menjadi tujuan. Sembari menyodorkan selembar lima puluh ribuan, saya berkata: “Bapak tahu tempatnya kan?”
Si driver menjawab: “Ya pak, saya tahu tempatnya. Bapak ingin lewat tol saja, bukan?”
“Ya,” saya menjawab pendek dan langsung sibuk dengan gadget saya.
Beberapa menit kemudian, saya menegur si driver: “ Bapak bisa lebih cepat?”
Jawab si driver, “Bisa Pak, tapi kecepatan kita sekarang sudah sesuai dengan batas kecepatan maksimal di tol.”
Saya baru menyadari, ternyata kita sudah cukup cepat. Dan ada satu fakta menarik, ternyata driver ini patuh pada aturan (lalu lintas) di jalan tol. Saya pun akhirnya berbincang-bincang dengan si driver.
“Tuh, mobil-mobil lain pada ngebut,” kata saya.
“Maaf Pak, saya hanya diijinkan mengendarai sebatas (kecepatan) ini saja” jawabnya dengan sopan.
“Kan ndak ada yang tahu, bila bapak ngebut?” kata saya lagi.
Sambil ketawa ringan dia menjawab: “hehehee…Tuhan tahu lho, Pak.
Perbincangan kami akhirnya lebih mengarah ke pengalaman pribadinya sebagai seorang driver. Sehingga saya pun akhirnya tahu, si driver ini benar-benar seorang yang patuh pada aturan dan bukan seperti pengemudi pada umumnya yang hanya (pura-pura) patuh bila ada polisi saja.
Driver tadi bercerita, dia punya keyakinan, bila dia tidak memulai sebuah pelanggaran, maka dia akan terhindar dari kesulitan. Dan dengan mengemudi sesuai aturan, si driver merasa lebih tenang dan nyaman. Dengan demikian, dia bisa memberikan yang terbaik ke penumpang. Luar biasa.
Saya membayangkan, bagaimana seorang driver bisa mempunyai sikap seperti itu? Sebuah sikap yang membuat dia bisa bekerja dengan baik, tanpa perlu diawasi.
Saya jadi teringat pada cerita klien-klien saya, yang karyawannya cenderung hanya patuh ketika sedang ditunggui oleh sang bos. Fenomena ini menggejala dimana-mana, bukan hanya di Indonesia,  lho. Kebanyakan karyawan memang hanya bisa (atau terampil) bekerja saja. Dan mereka hanya bekerja sesuai perintah. Kebiasaan bekerja sesuai perintah ini, tidak akan bertahan lama. Selain bosan atau jenuh, karyawan akan cenderung kembali pada kebiasaan lama yang dia sukai.
Selama ini kita sering lebih fokus kepada result jangka pendek dan lupa menanamkan keyakinan (believe) dan nilai-nilai (values) yang lebih bertahan dalam jangka panjang. Keyakinan ini biasanya dimulai dengan rasa senang akan pekerjaan.
Sebagai bos (atasan), terlebih dulu kita perlu menumbuhkan rasa senang mereka dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Rasa senang akan pekerjaan, tentu tidak muncul secara otomatis.
Salah satu cara untuk merangsang adalah dengan menginduksi atau mempengaruhi mereka bahwa apa yang mereka kerjakan adalah sesuatu yang menyenangkan bahkan bermanfaat buat orang lain. Kita bisa memberikan cerita atau study kasus yang berhubungan, yang secara tidak langsung bisa membuat mereka ikut merasakan dan berpikir, daripada hanya sekedar teori.
Selanjutnya adalah memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan nilai-nilai apa yang mereka dapat dari pekerjaan mereka. Semakin sering kita melakukannya, semakin mengingatkan dan menyadarkan, bahwa apa yang mereka lakukan tidak seberat dan membosankan seperti yang terlihat atau mereka alami.
Poin paling penting adalah melakukan kedua poin di atas secara berulang-ulang. Pengulangan secara terus-menerus akan mengubah sebuah keterpaksaan menjadi sebuah kebiasaan (yang menyenangkan).
Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda punya problem yang sama? Apa saja yang Anda lakukan untuk mengatasinya?
Share pengalaman Anda by email ke: suwito@baracoaching.com

Kamis, 15 Januari 2015

RESOLUSI TAHUN BARU: MIMPI ATAU RENCANA - Coach Humphrey Rusli

Kita baru saja memasuki tahun baru 2015. Seperti layaknya di tahun-tahun sebelumnya, kita mengharapkan yang terbaik di setiap pergantian tahun. Harapan dibumbungkan di tahun yang baru.
Seiring dengan harapan itu dibentuklah sebuah rencana atau yang lebih sering disebut resolusi. Namun benarkah ini rencana yang bisa dilaksanakan atau jangan-jangan hanya sekedar mimpi yang tidak akan pernah terwujud?
Mari kita simak perbedaan-perbedaan mendasar antara mimpi dan rencana.
1. Mimpi jarang diumumkan, sedang rencana wajib diumumkan.
Letak pembeda mendasar pertama ini menyatakan bahwa setiap rencana wajib diceritakan kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan untuk kita mewujudkan rencana tersebut. Sedangkan mimpi jarang melibatkan kepentingan orang lain, dan lebih sering hanya untuk konsumsi pribadi kita. Ini penyebab utama kita tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam mencapai rencana tersebut.
2. Mimpi tidak mempunyai ‘harga’ sedangkan setiap rencana pasti ada ‘harga’ yang wajib kita ‘bayar’. Sebuah rencana yang solid wajib menjelaskan ketidaknyamanan atau konsekuensi yang harus kita penuhi/jalani demi hasil yang kita dambakan.
Contoh: bila kita ingin menaikkan omzet 20%, maka kita wajib mentraining team sales kita, kita juga wajib menekankan target kepada mereka dan terutama meluangkan waktu untuk membimbing team ini mencapai target. Ini adalah sedikit dari ‘harga’ yang anda wajib bayar demi sebuah peningkatan omzet 20%.
3. Mimpi tidak memiliki reward and punishment.
Sebuah rencana wajib memiliki reward bila mencapai dan resiko (punishment) bila tidak tercapai. Reward dari mimpi biasanya adalah tercapainya mimpi itu sendiri. Sedangkan reward sebuah rencana tidak sama dengan terlaksananya sebuah rencana  itu sendiri. Demikian juga dengan resiko (punishment) dari rencana tidak sama dengan tidak tercapainya sebuah rencana. Buatlah sebuah reward dan punishment yang objektif dari sebuah rencana.

Nah, apakah resolusi anda masih bernuansa ‘mimpi’ atau sudah sampai level ‘bisa dilaksanakan’?

Salam the NEXT Level.

Senin, 12 Januari 2015

CUSTOMER IDAMAN - By: Coach Suwito Sumargo

Setiap perusahaan pasti punya customer atau pembeli idaman. Mereka adalah pembeli yang tidak pernah rewel dan selalu menjadi penggemar dari produk apapun yang dihasilkannya. Kita tentu pernah mendengar, antrian calon pembeli yang rela berdiri dan menunggu berjam-jam, hanya untuk menjadi pembeli pertama iPhone. Mereka mungkin termasuk pembeli idaman, yang rela bela-belain antri agar bisa jadi pembeli pertama.
Di ActionCOACH kami mengajarkan tentang Customer ABCD. Maksudnya adalah pengelompokan pelanggan menjadi 4: Awesome Basic - Can’t Deal With - Dead (Asyiik Biasa - Capek Deh - Duri Dalam Daging). Anda tentu dengan mudah bisa menduga, bahwa pembeli yang kita idamkan adalah yang termasuk dalam kategori A (Asyiik). Masalahnya, bagaimana menemukan bahwa diantara sekian banyak pembeli kita,ada sebagian yang termasuk dalam kategori A?
Cara paling gampang untuk mengenali pembeli atau pelanggan kita ialah dengan melihat catatan pembelian. Tentunya bila di catatan pembelian yang kita miliki, ada data tentang si pembeli. Itulah sebabnya, setiap perusahaan seharusnya berusaha mencatat pembelian (dan pembelinya). Dengan demikian, kita bisa melihat siapa saja yang rajin membeli berulang-ulang.
Dan, kalau kita bisa mengetahui alasan pembelian mereka, maka mungkin produsen atau penjual bisa menggunakan data-data ini sebagai dasar: Siapa lagi yang termasuk dalam kategori ini, kategori A? Ini bisa menjadi awal strategi mengundang para calon pembeli yang punya selera atau kecenderungan yang sama. Teorinya gampang, bukan? Tapi prakteknya sulit sekali. Begitulah kata orang, selalu.
Suatu hari, seorang client saya menyergah: Coach, itu kan kalau kita sudah jualan dan sudah sukses. Sehingga kita punya catatan, database atau apapun istilahnya deh. Bagaimana kalau kita merupakan perusahaan yang baru berdiri dan baru meluncurkan produk anyar?
Saya berusaha mengingat beberapa produk baru. Lalu saya bertanya: Apakah pernah membaca cerita tentang bagaimana Sony menciptakan Walkman, dan sukses? Atau, pernahkah Anda membaca cerita tentang bagaimana Aqua dan Teh Botol Sosro dipasarkan untuk pertama kalinya?
Pertanyaan diatas juga untuk Anda, pembaca artikel ini. Kirimkan jawaban Anda melalui e.mail ke: suwito@baracoaching.com. Mari berbagi cerita dengan para pembaca lain.


Salam The NEXT Level!

Kamis, 08 Januari 2015

CARA MUDAH MEREKRUT KARYAWAN - By: Coach Suwito

Di tahap awal, saya merekrut karyawan seadanya. Saya titip pesan ke karyawan, bila ada orang di kampung atau desa yang ingin kerja, silahkan diajak saja. Dengan cara ini, saya gampang mendapat karyawan.
Bila saya teliti kembali, mengapa bisa semudah itu, ya? Ternyata, setelah diselidiki lebih mendalam, karyawan sayalah yang memberikan iming-iming, betapa enaknya kerja di tempat saya. Sehingga orang-orang di kampung atau desanya gampang tergiur. Ehm...dalam proses rekrutmen, ternyata ada word of mouth juga :)
Cara rekrutmen yang mengandalkan word of mouth tidak begitu saja terjadi. Karyawan pengajak ini punya peran penting sebagai pembawa pesan (messenger). Seorang messenger yang bisa dipercaya (bonafide) akan mudah menarik perhatian.
Si messenger bisa saja bertingkah kebablasan, misalnya: dia ikut-ikutan melakukan seleksi awal. Padahal, dia tidak paham akan hal itu. Tentu saja, seleksi calon karyawan merupakan urusan bosnya.
Dalam proses rekrutmen, kita tidak bisa hanya mengandalkan peran messenger. Perusahaan kita pun harus menunjukkan performance yang baik, terutama dalam mentreatment karyawan. Karyawan yang betah bekerja untuk waktu yang lama, menunjukkan bahwa bukan saja upahnya memadai, tapi juga menggambarkan suasana kerjanya yang menyenangkan.
Periksalah kembali, apakah perusahaan Anda sudah memiliki hal-hal yang membuat karyawan betah bekerja dan tidak ingin berpindah ke perusahaan lain. Perusahaan yang punya reputasi baik dalam memperlakukan karyawannya, akan lebih mudah dalam merekrut karyawan baru.
Share pengalaman Anda by email: suwito@baracoaching.com

Salam The NEXT Level!

Senin, 29 Desember 2014

PENGGEMAR FANATIK - By: Coach Suwito

Suatu hari saya mendapat undangan untuk hadir di sebuah pagelaran jazz. Saya bukan penggemar musik jazz, tapi kalau saya tidak datang maka saya mungkin mengecewakan si pemberi undangan. Akhirnya, untuk pertama kalinya, saya pun memutuskan untuk menghadiri sebuah pagelaran musik jazz.
Menurut katalog, ada 3 venue berbeda dengan beberapa grup band yang silih berganti menunjukkan kebolehannya. Karena saya tidak tahu grup mana yang bagus, maka saya mendatangi satu persatu venue. Ternyata setiap venue dipadati orang, muda dan tua, berpasangan atau berkelompok.
Ketika salah satu venue jeda, maka penonton pun berduyun-duyun pindah ke venue lain yang sedang menampilkan grup band berbeda sejak setengah jam yang lalu.
Di kerumunan penonton itu, saya bisa membedakan, mana yang ngefans dan mana yang bukan. Yang benar-benar ngefans berdiri atau bergerombol di dekat panggung. Mereka ikut menyanyi bersama penyanyi. Kepala dan tubuhnya bergoyang seirama dengan lagu. Sementara, yang bukan fans berdiri di bagian belakang, asyik ngobrol sambil mengunyah camilan.
Perilaku konsumen bisa diamati dengan mudah. Penggemar berat (fans) bersedia meluangkan waktu, bela-belain, agar bisa mendapatkan produk kegemarannya. Mereka rela antri, berdesak-desakan, demi bertemu dengan idolanya. Mereka ikut bernyanyi, mereka sengaja larut secara emosi.
Grup band yang punya banyak penggemar berat tentu bangga. Didunia usaha juga berlaku fenomena yang sama. Bayangkan, bila Anda punya penggemar atau fans yang fanatik. Betapa bangganya Anda. Pingin punya penggemar fanatik? Cobalah meniru apa yang dilakukan grup band terkenal.

Share pengalaman dan pendapat Anda by email: suwito@baracoaching.com
Salam The NEXT Level!

Senin, 22 Desember 2014

PRESTASI PUNCAK - By: Coach Suwito

Dulu, ketika saya memimpin sendiri di bengkel, saya pernah melayani 98 mobil, dalam sehari! Tapi, prestasi itu hanya tercapai 1 kali saja dan di tahun-tahun berikutnya sulit sekali mengulangnya. Prestasi puncak yang paling sering dicapai adalah 70-an mobil dalam sehari.
Sebagai seorang yang pernah mencapai puncak, saya berusaha memperbaiki rekor itu. Bahkan saya dengan senang hati mendorong orang lain agar bisa memecahkan rekor saya. Toh saya sendiri pun tak pernah berhasil mengulang prestasi 98 mobil dalam sehari.
Apa saja yang dibutuhkan seseorang, agar bisa mencapai prestasi puncak?
Bagi saya, prestasi puncak bisa saja dicapai secara tidak sengaja, seolah-olah terjadi begitu saja, alamiah. Tapi, sebenarnya mencapai sebuah prestasi itu juga bisa direncanakan.
Pertama, seseorang perlu tahu: berapa kemampuan atau prestasi puncaknya? Bagaimana cara kita tahu kemampuan puncak kita? Hanya ada satu cara untuk membuktikannya: coba dan lakukan saja. Lalu, lakukan lagi lebih baik dan lebih baik lagi.
Kedua, kita perlu tahu: apakah perlu alat-alat bantu untuk mencapai prestasi itu? Apakah ada alat-alat bantu lain yang lebih bagus? Dalam pekerjaan sehari-hari, alat-alat bantu ini bisa berupa mesin (atau peralatan kerja lainnya), teman-teman satu tim, atau sistem kerja yang memudahkan kita menyelesaikan pekerjaan dan … ujung-ujungnya adalah prestasi terbaik.
Yang pernah saya lakukan adalah, membantu teman-teman satu tim untuk bekerja lebih baik, lebih cepat dan lebih akurat. Hasilnya? Mereka berhasil menaikkan prestasi puncaknya, meski belum bisa menyamai rekor saya.
Kemudian, saya menanamkan semangat kompetisi, yaitu berusaha memecahkan rekor terbaik. Entah itu rekor terbaik diri sendiri atau teman se-tim-nya. Semangat berkompetisi, membuat orang menjadi bekerja dengan antusias dan tanpa kenal lelah.
Ini juga saya gunakan dalam beberapa kasus coaching: semangat berkompetisi, memperbaiki prestasi puncak.
Apakah Anda pernah melakukannya?

Share by email: suwito@baracoaching.com

Salam The NEXT Level!

Senin, 08 Desember 2014

Sustainable Company, Perusahaan yang Berkelanjutan - By: Coach Suwito

Kata sustainable company sering dikaitkan dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Tapi kali ini saya ingin menerjemahkannya sebagai sebuah perusahaan yang tahan lama, tahan banting dan tetap populer untuk waktu yang sangat lama, atau perusahaan yang berkelanjutan.
Bila batasan ‘lama’ itu adalah bilangan 5 atau 10 tahun, mungkin kurang relevan. Sebuah perusahaan yang (baru) bertahan selama 5 tahun, masih dianggap belum apa-apa, belum (terbukti) cukup tahan banting atau tahan lama. Padahal, banyak pemilik perusahaan yang sudah ngos-ngosan ketika mempertahankan keberadaan perusahaannya pada 5 tahun pertama.
Bila toh akhirnya si pemilik perusahaan ini berhasil melewati masa 5 tahunnya yang kedua…dengan baik tentunya, maka si pemilik perusahaan ini boleh sedikit lega, dan boleh mulai merasa optimis bahwa perusahaannya bakal bisa bertahan hingga dekade berikutnya.
Ehmm…siapa tahu?

Inovasi Produk dan Merk yang Kuat
Sebuah perusahaan dianggap berkelanjutan, bila dalam kurun waktu dua atau tiga puluh tahun selalu mempunyai produk (atau produk-produk) yang digemari oleh konsumen. Yang produk-produknya senantiasa dicari dan diminati oleh para pelanggannya. Setiap kali melaunch produk baru, senantiasa laris.
Bukan hanya produknya yang dicari, tapi merknya pun sangat dikagumi dan terpercaya. Apple dan Samsung merupakan dua jawara, yang launching produknya hampir selalu booming, fantastis.
Apa sebenarnya yang membuat produk perusahaan-perusahaan ini begitu digandrungi? Tak lain karena mereka mampu menyajikan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen atau pelanggan. Bahkan, perusahaan-perusahaan semacam ini mampu menciptakan trend baru, dan konsumen menggandrunginya, ngefans terhadap merknya.
Perusahaan-perusahaan yang ingin sustainable memang harus rajin-rajin menciptakan produk-produk inovatif. Dan tidak cukup dengan inovatif saja, tapi setiap produk juga harus dikomunikasikan dengan benar, hingga konsumen mendapat persepsi yang pas tentang produk inovatif tersebut. Komunikasi yang tepat inilah yang membuat konsumen antri saat launching sebuah produk baru.
Dan bila sebuah perusahaan selalu mencetak rekor penjualan saat launching produk inovatifnya, maka boleh dibilang perusahaan tersebut berpeluang mendapat julukan sustainable company.


Value dan Vision
Bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut sedemikian konsisten dan menjadi jawara dari tahun ke tahun? Kunci pertama dilihat dari visi perusahaan. Di visi perusahaanlah terletak value apa saja yang ingin dipertahankan sebagai identitas perusahaan. Visi yang mengedepankan kesejahteraan umat manusia, akan lebih tahan lama (sustainable) ketimbang visi yang semata-mata mencari keuntungan pribadi saja.
Itulah sebabnya, ketika sebuah perusahaan menunjukkan kepeduliannya pada pelestarian lingkungan hidup, maka merk perusahaan tersebut menjadi terpercaya. Orang membeli dan menggunakan produknya sebagai penghargaan atas visi perusahaan. Dan…konsumen percaya bahwa produknya benar-benar bagus. Tentang kiprah perusahaan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup, Anda bisa membuka link berikut ini: http://www.coca-colacompany.com/plantbottle-technology/

Kualitas
Ada satu hal lagi yang mungkin dianggap ‘biasa’ pada perusahaan-perusahaan yang tahan lama ini, yaitu: kualitas yang senantiasa terjaga. Kualitas nomor 1 sudah menjadi keharusan, kebiasaan. Bila sebuah perusahaan ingin bertahan untuk waktu yang lama, maka setiap produknya (tanpa kecuali) harus berkualitas nomor 1. Sebuah perusahaan yang sustainable haruslah konsisten menghasilkan produk-produk berkualitas, tanpa kecuali.

Profit
Terakhir, perusahaan hanya akan mampu bertahan lama, bila operasional perusahaan tersebut mendatangkan cukup profit/keuntungan bagi para pemilik (share holders) dan karyawan. Kalau di bagian atas tadi lebih banyak diceritakan tentang benefit di pihak konsumen, maka profit terutama dinikmati oleh share holders.
Share holders tidak hanya menginginkan profit, tapi juga senantiasa bercita-cita memperoleh profit yang sebesar-besarnya melalui investasi seminimal mungkin. Share holders juga sangat gembira, bila investasi yang ditanamkannya mampu bertahan untuk waktu yang lama, dan tetap memberikan keuntungan.
Bagaimana share holders bisa ‘menghemat’ investasi? Salah satu caranya adalah melakukan perawatan terhadap fasilitas produksi. Dengan perawatan yang teratur, maka produktifitas mesin akan tetap terpelihara, masa pakainya menjadi semakin panjang dan tingkat kerusakan dapat diperkecil. Dengan demikian, penggantian mesin atau fasilitas produksi bisa ditunda, bukan?
Tentu saja, bukan hanya keuntungan yang bisa dinikmati oleh share holders, tapi juga kesejahteraan karyawan dan masyarakat sekitarnya. Perusahaan yang mampu meningkatkan kesejahteraan, tentu akan lebih ‘dicintai’ oleh karyawannya. Dengan demikian, turn over karyawan menjadi rendah dan produktifitasnya meningkat.

Menjadi perusahaan yang tahan lama, tahan banting dan tetap digemari oleh konsumen, karyawan dan masyarakat tidaklah mudah. Benar, bukan?

Kamis, 04 Desember 2014

JOSHUA BELL STORY - By: Coach Ruaniwati

Seorang pemain biola terkenal, Joshua Bell bersama dengan surat kabar Washington Post melakukan eksperimen untuk mengetahui persepsi orang dengan cara tampil di stasiun kereta bawah tanah di Washington. Waktu itu, dia memainkan 6 lagu gubahan karya Bach selama 45 menit pada jam tersibuk stasiun.
Hanya 6 orang saja yang berhenti dan mendengar permainannya sejenak dan total hari itu ada 20 orang yang memberi tips yang berjumlah 32 dolar. Padahal sehari sebelumnya, dia tampil di Boston dengan tiket ludes terjual dengan rata-rata tiket seharga 100 dolar.
Yang mengejutkan, tidak ada orang yang mengenali Joshua Bell di stasiun pagi itu. Joshua adalah salah satu pemusik terbaik di dunia dan pemenang Grammy Award, memainkan gubahan lagu Bach dengan biola senilai 3,5 juta dolar waktu itu.
Apa pelajaran yang bisa kita dapatkan dari cerita ini?
Andai saja, kejadian di pagi itu diberitakan atau dipromosikan, kejadiannya akan jauh berbeda, saya membayangkan para fans Joshua Bell bakal datang nonton. 
Apa yang salah disini?
Tidak ada orang yang tahu bahwa Joshua akan manggung pagi itu. Tidak ada orang lewat di situ yang mengenali siapa dia. Tidak ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa yang manggung itu pemusik biola paling top di dunia.
Relevan dengan cerita di atas, ternyata jika salah tempat,  seciamik apapun perusahaan/ produk/ layanan kita, tidak ada yang tertarik.
Kualitas ternyata jika ditaruh tidak pada tempatnya tidak akan menimbulkan dampak apa-apa. Jika salah tempat sekalipun kalau tidak di woro-woro juga tidak berdampak banyak.
Dari beberapa diskusi dengan pebisnis, saya jadi sadar bahwa terkadang kita tidak menentukan dulu dimana, kapan dan dengan cara apa kita mau bermain.
Masih mau main dengan cara ini? 

Kamis, 27 November 2014

NIAT - By: Coach Humphrey

“Aduh, anak buah saya kok gak niat kerja, sih!”
Begitu keluhan beberapa pengusaha yang sering saya dengar. Sebenarnya apa niat itu, dan apa hubungannya dengan konteks SDM atau tim dalam sebuah bisnis?
Dari diskusi dengan para pemilik bisnis, saya simpulkan, niat merupakan itikad atau keseriusan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam bisnis, tim merupakan aset bagi perusahaan. Jadi, kalau anak buah tidak punya niat, maka bisa dikatakan kita punya aset yang tidak baik.
Itulah sebabnya, jika ingin bisnis kita sukses, maka perlu untuk membina tim dengan baik. Perlu membangkitkan niat mereka untuk bekerja dengan optimal dan mendukung kemajuan perusahaan. Sering kita lihat, gara-gara nggak niat, orang pintar sekalipun jadi tidak berguna buat perusahaan.
Seorang anak buah dikatakan tidak niat jika dia memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, tapi dia lebih memilih tidak melakukan. Tipe seperti ini adalah bad fruit atau buah buruk dalam perusahaan, yang mau tidak mau harus segera dibuang sebelum merugikan perusahaan.
Masalahnya, selama ini kasus yang saya jumpai justru bukan berasal dari anak buah yang nggak niat, tapi dari pengusahanya sendiri yang keliru menilai. Anak buah sering dicap nggak niat, padahal mereka hanya tidak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan. Bisa berarti tidak mampu karena skillnya kurang. Atau dia mampu, namun tidak ada waktu cukup untuk menyelesaikannya. Hal itu yang kemudian membuat niat mereka jadi ‘surut’.
Lalu bagaimana caranya untuk membangkitkan niat pada anak buah?
Pertama, memastikan kecocokan skill atau pengalaman. Tujuannya agar perintah yang diberikan mudah diserap dan anak buah punya rasa PD mengerjakan karena punya skill dan background yang sama.
Contoh perintah yang diberikan bisa seperti, “Saya lihat anda pernah melakukan pekerjaan XYZ. Nah, saya minta anda melakukan lagi, namun dengan sedikit perubahan.”
Kedua adalah setting timing yang jelas. Kita harus tahu waktu atau kapan anak buah mengerjakan tugas yang kita berikan. Sebaiknya ditanyakan kapan mereka melakukan kerjaannya, kapan waktu selesainya. Jika mereka tidak mampu, maka kita hendaknya membantu yang bersangkutan.
Mungkin bisa dengan memberi penjelasan, tugas mana dulu yang diutamakan, kesulitannya apa saja, dan sebagainya. Intinya, pastikan dia memiliki alokasi waktu yang cukup untuk menjalankan perintah kita.

Gimana? Sebenarnya mudah bukan untuk membuat anak buah kita niat bekerja?