Menyesuaikan
diri dan bertahan terhadap segala perubahan, merupakan keharusan agar bisa
bertahan hidup. Tak terkecuali dalam dunia bisnis. Pemilik bisnis dituntut untuk
bisa menghadapi perubahan, jika tidak ingin bisnisnya ‘tergilas’. Lalu apa yang
harus dilakukan agar bisnis tetap bertahan menghadapi perubahan yang terjadi?
Menjawab
kebutuhan tersebut, BARACoaching Surabaya (ActionCOACH East Java-Bali)
mengadakan forum para CEO yang terangkum dalam acara CEO PowerLunch. Acara
bertajuk “Thriving in Uncertainty” itu
bertempat di hotel Shangrila Surabaya, Rabu, 18 Juni 2014.
Coach
Suwito Sumargo, selaku pembicara dalam acara ini mengungkap beberapa penelitian
Jim Collins, penulis buku “Great by
Choice” tentang persamaan yang dilakukan beberapa perusahaan untuk bisa
bertahan lama melawan ketidakpastian.
“Ketidakpastian
bisnis yang dimaksud bersifat tidak terduga dan secara tiba-tiba. Beberapa
penyebab seperti business circle, government policy, dan masih banyak
lagi,” tutur coach Suwito.
Sebelum
memasuki materi inti, pelatih bisnis yang juga pemilik salah satu franchise otomotif terbesar di Surabaya
ini, memutarkan video petualangan Robert Falcon Scott (Inggris) dan Roald
Amundsen (Norwegia) yang mengarungi kutub utara.
Apa
yang menjadi pembeda dalam perjalanan keduanya, sehingga hanya Amundsen yang
berhasil menaklukan kesulitan yang dihadapi dalam perjalanannya. Sedangkan
Scott, meskipun telah melakukan persiapan dan usaha keras sebelumnya, namun
gagal dan akhirnya meninggal. Apa yang telah dilakukan Amundsen, yang bisa
dijadikan pelajaran untuk para pebisnis dewasa ini, dalam menghadapi masa-masa
sulit?
Bercermin
pada petualangan Amundsen, menurut coach Suwito, ada tiga hal yang perlu
dilakukan oleh pemain bisnis, agar perusahaan bukan hanya mencapai puncak
sukses, namun yang terpenting terus bertahan sampai jangka waktu yang tidak
ditentukan.
Pertama,
menciptakan ‘masalah’ untuk menguji perusahaan, mampu atau tidak dalam
melewatinya.
Seorang
pemimpin perusahaan besar, bertanya pada tim salesnya: “Apa yang Anda lakukan
bila bulan ini tidak ada penjualan sama sekali yang masuk?”. Tim salesnya
mencoba menjawab dengan memberikan teknik-teknik menjual untuk mendatangkan
konsumen. Sang pemimpin pun memberikan kesempatan pada mereka untuk mencoba
cara-cara yang diberikan.
Jadi,
pada poin ini, diharapkan perusahaan menjadi lebih peka, melakukan persiapan
dan bisa menyikapi saat situasi tidak terduga. Tepatnya, bisa menyelesaikan
masalah, ketika berada di luar zona nyaman.
“Seperti
ungkapan sedia payung sebelum hujan. Ungkapan ini menjadi tidak berarti ketika kita
tidak pernah mencoba atau menguji payungnya, tahan atau tidak,” jelas coach
Suwito
Kedua,
bergaul dengan orang-orang yang punya passion
sama.
“Amundsen do this. Selain melatih fisik, Amundsen
belajar dari orang-orang Eskimo. Dia bergaul dan beradaptasi dengan lingkungan
Eskimo, sehingga mampu bertahan dan berhasil mengarungi kutub utara.”
20
Miles March
Terakhir,
ada sesuatu yang merangsang untuk menuju southpole.
Menetapkan apa yang menjadi target kita, baru berlatih ke arah sana. Hal
pertama untuk mencapai southpole, melakukan
disiplin yang tinggi (Fanatic Discipline).
Jadi benar-benar fanatik dalam disiplin, terarah, dan tetap konsisten dalam
keadaan apapun.
Dari
sekian banyak perusahaan yang diteliti oleh Jim Collins, yang sukses menaikkan
nilainya, mempunyai ciri melakukan disiplin ’20
miles march’ seperti yang dilakukan Amundsen.
Diceritakan,
Amundsen meletakkan tenda perbekalan setiap 20 mil. Kenapa 20 mil? Ini
didasarkan pada penelitian dan survey yang dilakukannya sebelumnya. Untuk mencapai
southpole atau tempat yang dituju, dia
konsisten melakukan perjalanan setiap 20 mil sebelum kemudian beristirahat di
tenda. Meski cuaca sedang bagus pun, dia tidak akan menambah panjang perjalanannya,
tapi tetap 20 mil.
“Konsistensi
atau keteraturan itu sangat penting. Tidak mudah dilakukan jika tidak
dibiasakan. Namun perlu diperhatikan, untuk menjadi habit, harus punya pengamatan terlebih dulu. Inti dari 20 miles march itu adalah bersifat teratur
dan tetap dengan melakukan test and
measure sebelumnya,” papar coach Suwito.
Lalu
tantangan apa saja yang biasanya dihadapi? Disinggung tentang hal ini, pria murah
senyum ini menjawab, ada dua hal yang menjadi tantangan dalam 20 miles march.
“Pertama
yaitu komitmen dalam menjalankan 20 miles
march, seberat apapun keadaannya. Kedua, bagaimana ketika dalam kondisi bagus
harus tetap berhenti di setiap ’20 mil’.”
Poin
kedua yang harus dilakukan untuk mencapai southpole
adalah Empirical Creativity. Kreatif
yang dimaksud bukan hanya sekedar bersifat kreatif, atau lain daripada yang
lain. Melainkan, harus dibarengi dengan melakukan penelitian data-data secara
kontinyu.
Kebiasaan
yang dilakukan antara lain dengan mengumpulkan data (pencatatan) sedari
perusahaan masih kecil untuk menyusun statistik. Selain sebagai komparasi, hal
ini memudahkan Anda menentukan bullet
atau peluru yang akan dijadikan cannon ball.
Bullet
merupakan wujud dari test and measure
dalam skala kecil, yang ditembakkan sampai tepat sasaran. Misal, ada satu perusahaan
konsultan bisnis yang ingin mengetahui, media apa yang paling efektif dan tepat
untuk promosinya. Maka mulailah ia memasang iklan di berbagai media, sampai
menemukan media apa yang diinginkan.
Setelah
itu, barulah akan diberdayakan seluruh daya upaya ke satu tujuan tersebut. Itulah
yang disebut cannon ball. Bullet sebaiknya dilakukan dengan
memperhatikan 3 pertimbangan, yaitu biaya yang rendah (low cost), resiko yang kecil (low
risk), serta gangguan yang kecil (low
distraction).
Terakhir,
Productive Paranoia. Paranoia
merupakan satu keadaan dimana seseorang menaruh curiga berlebihan terhadap
sesuatu. Hal ini menjadikan seorang pelaku bisnis sulit mencapai mimpinya,
karena tidak pernah punya keputusan final. Selalu berubah, karena kecurigaan
atau ketakutannya.
Untuk
menghadapi ketidakpastian dalam bisnis, paranoia memang diperlukan, bukan
ketakutan yang menjadikan stagnan, namun paranoia yang masih produktif. Jadi
bagaimana seorang CEO kemudian menyiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi ‘badai’
yang akan dihadapi.
Beberapa
langkah yang bisa diterapkan dalam productive
paranoia diantaranya menyediakan uang cash
yang cukup dan cadangannya (build cash
reserves and buffers). Berapa banyak? Tentunya harus ditakar dulu agar
sesuai dengan kebutuhan.
Setelah
itu Zoom Out To Zoom In. Artinya, melihat
sesuatu secara keseluruhan atau lebih luas, sebelum akhirnya lebih detail dan spesifik dari jarak dekat. Contohnya,
melihat kompetitor kita mana saja, baru kemudian kompetitor utama yang mana.
Di
akhir acara, para peserta diminta untuk memberikan apa yang mereka dapat dalam
CEO PowerLunch Club kali ini. Satu diantaranya, Erick Robertan dari CV. Era
Prima Jaya.
“Saya
senang mengikuti acara ini. Temanya mengingatkan saya dengan apa yang pernah dikatakan
oleh salah seorang pengusaha top: kepastian adalah ketidakpastian. Selain itu,
saya tertarik dengan 20 miles march.
Membuat saya jadi berpikir lebih spesifik, dan menggali apa yang akan kita
lakukan, salah satunya dengan membuat list,”
papar pria berkacamata ini panjang lebar.
Lalu
bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk Amundsen atau Scott? Apakah Anda
lebih memilih menyelesaikan masalah ketika masalah itu terjadi? Atau meng’create’ masalah kecil untuk ‘latihan’
sebelum Anda melewatinya?