business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Kamis, 30 Oktober 2014

HOW TO CHANGE BAD PEOPLE - By: Coach Ruaniwati


Mengapa kami sering membahas tentang people?  Karena seorang pemilik bisnis, tidak saja perlu menguasai keahlian bisnis, tapi aspek penting lain seperti people master, yaitu ketrampilan berhubungan dengan orang lain. Semakin kita mengerti kecenderungan / kebiasaan orang-orang dalam tim, semakin baik kita dapat berkomunikasi dengan mereka.
Yang menarik, setelah diteliti ternyata dalam melakukan kegiatan usaha ada 40% waktu yang dihabiskan untuk tugas-tugas yang tidak penting, 30% dihabiskan untuk pekerjaan ulang atau perbaikan dan yang paling mengejutkan 90% masalah disebabkan oleh orang-orang yang tidak efisien atau tidak efektif. Mencengangkan bukan angka ini?
Dalam kegiatan usaha, barangkali kita pernah berhadapan dengan seorang yang memberi pengaruh buruk kepada tim, dan biasanya pengaruh ini menular ke orang lain. Jika kita tahu ada seseorang seperti itu dalam tim, kita perlu berhati-hati menghadapinya. Bagaimana kita mengatasi orang-orang ini? Mari kita kupas satu persatu.
Siapa ya sebenarnya yang disebut BAD PEOPLE ini? Apakah orang-orang yang jahat (BAD PEOPLE), misalnya tukang mencuri, tukang bohong dan lain-lain? Ataukah orang-orang dengan kebiasaan buruk (BAD HABITS) atau orang yang tidak punya keahlian (BAD SKILLS)?
Pastikan kita tidak merekrut BAD PEOPLE, ini tentu bukan lagi pilihan. Bagaimana dengan BAD SKILLS? Orang dengan BAD SKILLS dapat diatasi dengan mengidentifikasi kebutuhan skill-nya dan memberikan program pelatihan apa yang tepat. Jika dapat menggambarkan proses produksi atau proses sales dengan terperinci misalnya, kita bisa mengenali skill apa yang diperlukan oleh tim kita supaya dapat berhasil melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah dirancang atau ditargetkan.
Solusi untuk orang-orang dengan BAD SKILLS tentu saja lebih mudah dibanding dengan orang-orang dengan BAD HABITS, berikut kategori orang-orang dengan kecenderungan BAD HABITS.
1.                                     Bulletproof
Tipe ini adalah orang yang sangat percaya diri, hampir tidak pernah merasa salah. Semua yang dilakukannya dianggap benar. Biasanya tipe orang seperti ini pandai, mampu mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya. Bagaimana menghadapi orang tipe ini?
Buatlah seakan-akan ide atau keputusan itu dari mereka dengan cara menanyakan pertanyaan-pertanyaan pengarah. Alokasikan perhatian kepada mereka, mendengarkan mereka lebih banyak sehingga akhirnya mereka bersedia mendengarkan kita.

2.       Ostrich
Kebalikan dari bulletproof, orang tipe Ostrich sangat tidak percaya diri
. Ostrich adalah burung Onta yang punya kaki panjang dan kuat, mampu berlari dengan kencang dan sebenarnya sanggup menghadapi musuh naturalnya yaitu Coyote.
Masalah orang tipe ini adalah sangat tidak percaya diri, walaupun kita menilai mereka  mampu melakukan tugas yang diberikan kepadanya.
Bagaimana menghadapi si ostrich yang suka sembunyi ini? Lebih sensitiflah pada waktu berkomunikasi dengan mereka. Mengerti perasaan mereka dan jika memberikan tantangan, pastikan mereka sudah percaya kepada kita. Sering-sering berikan motivasi dan afirmasi positif, sehingga mereka dapat lebih percaya diri.
3.       Marshmallows
Seperti marshmallow yang empuk, menarik dan warna warni, orang tipe  ini adalah seorang yang pengayom, sifatnya momong dan memberi dorongan. Namu
n, jika dibawa ke dosis yang berlebihan, orang tipe ini cenderung menutupi kesalahan orang lain dalam tim sehingga tidak timbul kedisiplinan.
Jika ada orang marshmallow dalam tim kita, kita perlu tahu dimana tempat yang paling tepat untuk mereka. Apa yang bisa kita lakukan untuk orang bertipe ini?
Mencari tahu apa latar belakang seseorang bersikap
ngemong’, mungkin karena latar belakang keluarga atau sebab-sebab lainnya.
Tempatkan mereka di tempat dimana bersikap marshmallow diperlukan. Mintalah mereka secara bertahap untuk lebih tegas, bukan langsung mengubah kebiasaan mereka.
4.       Critics
Orang tipe ini seringkali suka mencari-cari kesalahan orang lain, salah atau benar selalu dikritisi. Menjengkelkan? Tidak selalu, karena kita perlu juga orang tipe ini dalam tim untuk selalu memberikan masukan / kritikan demi kemajuan tim.  
Bagaimana menghadapi orang-orang  seperti ini? Setujui pendapat mereka dan tambahkan pendapat Anda sendiri, jangan menganggap kritik itu sebagai serangan pribadi, kemungkinan besar itu bukan tentang Anda. Beritahukan dengan jelas jika Anda merasa tersinggung dengan kritikan mereka, biasanya mereka dapat menghargai pendapat kita jika diungkapkan langsung.
5.       Iceberg
Kebalikan dengan
marshmallow, orang bertipe ini sangat dingin, seakan-akan tidak mampu ber-empati akan kesulitan atau tantangan orang lain. Biasanya tidak terlalu banyak bicara. Bagaimana menghadapi orang-orang tipe ini? Jadilah proaktif dan upayakan menggali sisi hangat mereka. Sampaikan dengan terus terang dan tanyakan apa pendapat mereka. Bantu mereka mengerti jika berhubungan dengan orang lain perlu unsur emosi sehingga dapat meningkatkan produktifitas karena adanya hubungan yang baik dengan sesama.
6.       Flatliner
Orang bertipe flatliner juga sering disebut
zombie. Seperti kita ketahui zombie adalah mayat hidup, biasanya tidak aktif, tidak terlihat bersemangat, tidak mempunyai visi atau kehendak dalam hidup mereka.
Bagaimana berkomunikasi dengan zombie ? Dengan membagi-bagi pekerjaan mereka menjadi potongan-potongan kecil, sehingga keberhasilan dapat lebih mudah dicapai, berikan pujian pada pencapaian mereka. Siapkan panduan untuk tingkat produktifitas mereka dan bersabar untuk melihat hasilnya.
7.       Bulldozer
Jika kita mengendarai bulldozer, jarak pandang kita terbatas, tidak terlihat apa yang di depan kita. Orang-orang tipe ini biasanya tidak pandang bulu, jika ada yang tidak beres, mereka akan langsung
bicara tanpa mempedulikan orang lain. Sangat percaya diri, sehingga seringkali susah berbicara dengan mereka. Bagaimana menghadapi orang tipe ini?
Bertanyalah lebih sering tentang apa yang mereka pikirkan dan rasakan, sehingga mereka memahami bahwa kita menghargai pendapatnya dan berharap mereka bersikap sama. Terapkan aturan main jika berkomunikasi sehingga mereka lebih mampu memberi ruang pada orang lain.
8.       Turtle
Dari sebutannya kita tahu jika turtle (kura-kura) biasanya lebih suka bersembunyi dalam cangkangnya jika menghadapi bahaya. Orang bertipe ini adalah mereka yang tidak suka perubahan, selalu bersembunyi jika menghadapi tantangan.
Bagaimana mengajak seorang turtle untuk mengubah cara mereka berkomunikasi atau bekerja? Sebagai pemimpin kita perlu mengerti kebutuhan mereka untuk tetap berada dalam kondisi stabil/ jarang berubah-ubah. Berilah ruang untuk berpikir dan mencerna. Hindari memaksa mereka mengambil keputusan secara cepat. Jika perlu carilah waktu yang berbeda untuk topik yang sama sehingga mereka lebih nyaman untuk berubah atau menerima tantangan baru.
9.       Volcano
Seperti gambaran gunung berapi, orang-orang volcano biasanya agresif dan pemarah, gampang meledak dan menunjukkan emosi dengan jelas. Bagaimana kita berkomunikasi dengan orang volcano ini? Pada waktu berhubungan dengan orang volcano, kita perlu menghindari mengeluarkan pernyataan yang memojokkan mereka, dan berhati-hati menggunakan kata-kata provokatif yang mungkin menimbulkan kemarahan mereka. Peka akan respon mereka, baik di nada suara maupun bahasa tubuhnya.
10.   QuickDraw
Mirip dengan orang volcano, orang bertipe ini gampang bereaksi terhadap suatu kejadian atau perkataan orang lain. Bedanya dengan volcano, orang QuickDraw biasanya sulit  mengendalikan diri dan impulsi
f. Tindakannya tidak selalu tampak meledak-ledak, namun bisa berupa hal-hal yang lain, misalnya belanja atau makan berlebihan.
Sebagai pemimpin, bagaimana kita mengarahkan orang tipe QuickDraw ini ? Pada waktu mereka membagikan idenya, cobalah menahan diri untuk tidak langsung merespon. Jika mereka membuat keputusan yang bersifat impulsif, beritahukan dan konfirmasikan kepadanya, namun perlu berhati-hati mengemukakannya sehingga tidak dianggap sebagai tekanan supaya mereka berubah.
Sebagai pebisnis, dengan mengerti kecenderungan orang-orang dalam tim, kita dapat membuat kebiasaan-kebiasaan baru sehingga tercipta lingkungan yang positif bagi setiap orang, Jika kebiasaan ini terus menerus dengan konsisten dilakukan maka akan timbul budaya (culture) perusahaan yang positif dan kuat. Budaya GOOD PEOPLE hanya bisa diciptakan dari serangkaian kebiasaan yang GOOD pula. Anda siap melakukannya?
Salam The Next Level.
Ruaniwati (ruaniwati@baracoaching.com)
CALL US 031- 739 0666

Senin, 27 Oktober 2014

TIDAK SEMUA PEBISNIS SUKSES JAGO MENGATUR WAKTU


Banyak yang bilang, pebisnis sukses adalah pebisnis yang pandai mengatur waktunya. Padahal tidak semua pebisnis sukses bisa mengatur waktu, lho. Bisnis mereka memang sukses, penjualan meningkat, brand terkenal dimana-mana, profit stabil. Namun, yang sering saya temui, justru mereka jadi berkutat dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Seharian ‘tinggal’ di kantor, banyak meeting, laporan menumpuk, sampai tidak punya waktu untuk keluarga dan diri sendiri. Ironis bukan?
Jadi, bagaimana seharusnya? Dalam berbisnis, pengusaha bukan hanya wajib disiplin waktu untuk meningkatkan produktivitas dan kemajuan bisnisnya. Namun juga bagaimana agar dalam kehidupan sehari-hari, dia bisa meluangkan waktu untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya. Kalau kerjanya sudah over load, sampai mengganggu waktu pribadi, maka yang perlu dibenahi adalah cara dia mengatur waktu dalam pekerjaannya.
Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan agar waktu bekerja tidak sampai ‘memakan’ waktu pribadi Anda.
1.       Membuat jadwal (harian) apa saja yang harus Anda lakukan dalam satu hari (jam aktif kerja).
2.       Setelah itu mulailah untuk membuat skala prioritas.
-          Ini untuk memudahkan, mana pekerjaan yang harus dipentingkan terlebih dulu. Membedakan mana hal yang urgent dan important. Urgent adalah sesuatu yang harus segera dikerjakan (bersifat mendesak), sedangkan important adalah sesuatu yang lebih penting sifatnya, namun waktu pengerjaannya bisa ditunda (tidak harus saat itu juga).
-          Membedakan mana yang urgent dan important bisa membantu Anda lebih fokus, mana saja pekerjaan yang harus selesai hari itu juga, dan mana pekerjaan yang bisa ‘dipangkas’ untuk kemudian bisa dikerjakan lain hari.
-          Ada 4 kwadran skala prioritas, yang akan memudahkan Anda untuk lebih produktif dan fokus menyelesaikan tugas-tugas perusahaan. Not important but urgent (tidak penting namun mendesak), Important and urgent (penting dan mendesak), Important but not urgent (penting tapi tidak mendesak) dan Not important and not urgent (tidak penting dan tidak mendesak).
3.       Pendelegasian Tim.
-          Karena ingin hasil terbaik, sebagian besar pengusaha cenderung untuk melakukan semuanya sendiri, misal masalah dalam pengiriman barang tagihan yang tak kunjung selesai, mengecek kondisi barang di gudang, dan masih banyak lagi permasalahan yang seharusnya tidak memerlukan Anda untuk turun langsung. Semua hal tersebut bisa Anda delegasikan kepada orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya masing-masing, sehingga tidak banyak menyita waktu Anda.
-          Untuk hal-hal yang sifatnya urgent, namun tidak important, bisa Anda berikan pada tim. Misal, menemui tamu yang tiba-tiba datang, dan bisa diwakilkan.
-          Usahakan untuk mengerjakan hal-hal yang sifatnya lebih penting (important) dan memang harus Anda sendiri yang mengerjakan. Misal, meeting dengan tim tentang kebijakan internal, dan menghubungi klien utama.
4.       Fokus dan Disiplin.
Fokuslah untuk mengerjakan satu tugas sampai selesai. Selain itu, disiplin juga kunci memanage waktu agar lebih produktif. Biasakan untuk tidak menunda pekerjaan. Karena semakin lama kita menunda, rasa malas untuk memulai dan menyelesaikannya semakin besar.
5.       Efisiensi waktu.
Ada banyak cara agar hal yang kita lakukan menjadi efisien dan tidak membuang waktu kita sebagai pemilik bisnis. Seperti saat kita mengadakan rapat dengan rekan bisnis yang sudah kita jadwalkan mulai pukul 08.00, berarti ya dimulai pukul 8 tepat, bukan 08.01. Tidak peduli berapa jumlah yang hadir.
Begitupun waktu selesainya. Pukul 12.00 berarti ya pukul 12 tepat selesainya. Kenapa harus diakhiri on-time juga? Ini akan membuat kita belajar disiplin menggunakan waktu secara efisien.
Sekali kita mentolerir keterlambatan, ‘mengolor’ waktu, maka dikhawatirkan lama-kelamaan akan jadi budaya yang sulit diubah. Rapat yang berlarut-larut sebenarnya bukan hanya menunjukkan peserta rapat sebagai pekerja keras, tapi juga menunjukkan mereka tidak dapat bekerja efisien.
So, jangan buang waktu Anda. Mulailah mengatur jadwal, memetakannya dalam skala prioritas, serta fokus dan disiplin mengerjakannya. Jadilah pengusaha sukses yang produktif dan punya bisnis yang bisa berjalan tanpa Anda.  Lebih dari itu, juga sukses memanage waktu untuk kehidupan pribadi Anda. Siapkah Anda?

Kamis, 23 Oktober 2014

BRAND, APAKAH PENTING? - By: Coach Ruaniwati


Beberapa waktu lalu, ketika bertemu dengan seorang pemilik bisnis, beliau menyebutkan bahwa brand adalah sesuatu yang tidak terlalu penting. “Jika saya dapat memberikan harga paling murah dengan brand apapun, maka pelanggan akan datang dengan sendirinya”, demikian beliau menambahkan.
Apa yang disampaikan oleh beliau ini, sering saya dengar juga dari beberapa pemilik bisnis yang lain. Apakah pernyataan ini benar? Apakah kita mau terus menerus terjebak dalam permainan ini?
Apakah “brand” itu?  Brand adalah simbol, nama atau gambar tertentu yang membedakan suatu produk/ jasa dengan produk / jasa yang lain. Jadi kalau begitu, apakah “brand” penting?
Bagi para orang tua, apakah kita dengan sembarang saja memberi nama kepada anak kita? Tentu tidak kan? Malah mungkin, jauh-jauh hari sebelum anak kita lahir kita sudah mempersiapkan, mencari-cari apa arti nama yang akan diberikan kepada anak kita. Bahkan sampai dipikirkan dan diteliti aspek-aspek nama tersebut. Mengapa kita sampai berusaha begitu rupa hanya untuk mencari nama? Karena kita tahu, bahwa itu bukan sekedar penamaan, tapi juga adalah harapan akan jadi seperti apa anak kita. Setuju?
Lalu apa hubungannya antara nama anak dengan brand? Apa relevansinya? Sama seperti itu, pada waktu kita menentukan nama atau brand pada usaha yang kita bangun, kita mengharapkan ada identifikasi yang jelas, antara lain seperti apa sifat-sifatnya?
Jika brand anda dianalogikan sebagai orang, apakah laki-laki atau perempuan? Berapa umurnya? Seperti apa karakter dan sifat-sifatnya? Apa yang kita perlu lakukan supaya kepribadiannya dan ciri-ciri khususnya diketahui atau bahkan bisa segera dikenali oleh pelanggan kita?  Jika bukan kita yang menentukan kepribadian brand kita sendiri, pasti orang lain yang menentukannya untuk kita, sesuai dengan persepsi pelanggan tentang kita yang belum tentu sama dengan yang kita inginkan.
Lebih jauh, brand bukan sekedar nama, logo atau simbol tampilan, namun juga menunjukkan kekonsistenan kita. Tidak hanya produk, namun juga layanan, produksi, proses pengiriman, orang-orang yang ada di perusahaan itu semuanya mewakili kepribadian suatu brand.
Kalau kita menentukan brand (baca: kepribadian) tertentu untuk usaha kita, kira-kira siapa target market yang sesuai? Dengan cara apa kita memasarkannya? Orang-orang seperti apa yang harus kita rekrut untuk menunjukkan kepribadian itu? Training seperti apa yang perlu kita adakan? Proses internal seperti apa yang perlu kita buat supaya cocok? 
Apa yang dilakukan oleh merek-merek terkenal untuk memperkuat “brand” mereka? Hal yang paling menonjol yang saya tangkap dan pelajari adalah mereka terus menerus memperkuat “kepribadian” mereka, menemukan cara-cara tertentu untuk memastikan ciri-ciri mereka yang yang menonjol dapat terus dipertahankan, terhadap para karyawan, suplier maupun pelanggan.
Jadi, apakah brand (baca:kepribadian) Anda? Apakah sudah menentukan brand Anda? Apa saja usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk memperkuatnya?
Have FUN!!!

**Business coach paling bontot di BARACoaching ini akrab dipanggil dengan coach Ruani. Dengan pengalaman selama 16 tahun di bidang sales, marketing, brand dan advertising, beliau memiliki spesialisasi di bidang promotion, brand, advertising, dan marketing strategic

Rabu, 22 Oktober 2014

Forum HTCBP - GOOD ENVIRONMENT, OBAT AMPUH UNTUK BAD PEOPLE


Bisnis bisa diibaratkan dengan tubuh manusia. Bila 70% komponen tubuh adalah air, maka 70% komponen bisnis adalah people atau sumber daya manusia (SDM). Lalu apa yang terjadi pada bisnis, jika manusianya ‘tidak sehat’? Bagaimana cara mengatasinya?
Menjawab itu, BARACoaching Surabaya (ActionCOACH East Java-Bali) mengadakan sebuah forum bertajuk “How To Change Bad People”. Karena banyaknya permintaan, forum ini sampai diadakan 4 kali dengan tema sama.
Han Tiger Budiyono atau akrab dipanggil Coach Han memaparkan, bahwa masalah dalam bisnis, 40%nya adalah mengerjakan hal-hal yang tidak perlu dilakukan, 30% waktu dihabiskan untuk pekerjaan ulang dan perbaikan (rework and repair). Dan yang terbesar adalah 90% disebabkan oleh orang-orang yang tidak efektif dan efisien. Nah, orang-orang ini disebut dengan bad people.
“Ada pepatah yang mengatakan, satu apel busuk dalam keranjang, maka satu keranjang akan busuk semua. Efek bad people, bukan hanya pemilik bisnis pusing, tapi lebih jauh, dia akan mengkontaminasi yang lain,” ujar CEO BARACoaching ini dalam acara yang berlangsung di Hotel Shangri-La Surabaya, 04 Okt ’14 lalu.
Tipe karyawan yang tergolong bermasalah adalah mereka yang benar-benar punya karakter buruk atau jelek (bad people) dan mereka dengan kebiasaan buruk (bad habit) dan tidak punya keahlian (bad skills).
Jika memang orang tersebut punya karakter jahat, misal tukang mencuri, tukang fitnah, dll, maka kita tidak perlu repot-repot untuk merekrutnya. Masih lebih baik, orang-orang dengan bad skills dan bad habit yang masih bisa diatasi. Bagaimana caranya?
People dengan bad skills masih bisa diatasi dengan memberikan pelatihan (training) dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan skillnya. Selain kemampuan secara teknis, maka training juga harus mencakup cara pandang atau kedewasaan berpikir, serta kemampuan intelektual yang berkaitan dengan perusahaan,”tutur pelatih bisnis dunia ini.
Dalam mengubah karyawan yang punya bad skills dan bad habit, yang paling penting adalah fokuslah pada 2 hal. Membenahi skill mereka, dan menciptakan lingkungan (environment) yang lebih baik.
“Cara paling cepat mengubah belief seseorang adalah mengubah environmentnya dengan supporting good culture. Culture merupakan serangkaian dari kebiasaan atau habit. Jadi intinya, how to change bad people, yaitu dengan menciptakan good culture. And how to create good culture? Dengan create good habits,” tegas Coach Han.
Untuk melengkapi pemaparan tentang ‘bad people’, Coach Han juga memberikan 8 tipe orang-orang dengan kecenderungan bad habits, dan bagaimana mengatasinya.
Dalam forum berdurasi 5 jam ini, para peserta juga berdiskusi aktif seputar problem dan sharing tentang pengalaman nyata di bisnis mereka. Salah seorang CEO, Daniel Ponda Tengker berbagi pengalamannya menghandle karyawan yang punya habit buruk di bisnisnya. Daniel menceritakan, sebelumnya dia pernah mengikuti forum BARACoaching dengan tema sama 2 tahun lalu, dan mencoba menerapkan apa yang didapatnya dalam bisnis.
“2 tahun lalu, saya mengikuti forum ActionCOACH tentang bad people juga. Saya terapkan ilmunya dalam bisnis, dimana waktu itu karyawan saya memang memberikan omzet besar bagi perusahaan, namun mereka tidak mau dikontrol. Syukurlah, dengan menciptakan culture yang baik dan dijalankan secara konsisten tiap hari, sekarang saya sudah tidak punya lagi problem lagi dengan ‘bad people’. Apa yang saya omongkan ini bukan hanya teori, namun sudah saya lakukan sendiri. Culture itu bisa terbentuk jika kita percaya dan dijalankan setiap hari” papar pemilik House of David Salon ini.

Kamis, 16 Oktober 2014

Tantangan Terbesar di Marketing dan Selling Adalah Terlalu Fokus Memecahkan Masalah (Part 2) - By: Coach Humphrey Rusli**


Pada artikel sebelumnya dijelaskan, OMZET adalah akibat dari strategi yang tepat dan kemampuan problem solving dalam menerapkan startegi itu. Kapan waktu menerapkan problem solving skill yang kita miliki?
Jawabannya adalah, ketika sebuah strategi itu sudah disepakati dan dapat diperkirakan permasalahan baru yang akan muncul dengan dijalankannya strategi itu, barulah kita persiapkan "counter attack" kita dan mempersiapkan solusi-solusi itu.
Jadi, di dalam mendapatkan omzet dan profit yang lebih tinggi, sebaiknya kita menganalisa melalui 3 level yang berbeda:
1. Strategi
Apakah jalan atau cara kita sudah tepat? Dan jika cara yang selama ini kita pakai tidak bisa membawa ke hasil yang kita inginkan, ada baiknya kita mengambil ‘rute’ alternatif. Buat strategi baru.
2. Tactical atau Taktis
Ketika strategi itu sudah dijalankan, apakah kita punya cara untuk menghadapi hambatan/ rintangan, yang bisa muncul ditengah-tengah eksekusi strategi tersebut? Jika belum, latih tim anda. Contoh beberapa pelatihan klasik di sales:
- Bagaimana membuka percakapan,
- Bagaimana menghadapi penolakan,
- Bagaimana menemui owner dan tidak dihambat oleh sekretaris atau satpam di depan?
- Bagaimana menyampaikan value sebuah produk atau jasa premium?
- Bagaimana mendapatkan referal?
- Bagaimana mengubah konsumen antipati menjadi simpati terhadap anda dan produk anda?
- Dan sebagainya.
3. Practical atau level praktis.
Di sini, rutinitas yang sudah terbukti mensupport realisasi sebuah strategi wajib dipertahankan. Disiplin dan ketahanan tim untuk mengulang hal-hal yang sama dan komitmen untuk menyimak dan mencantumkan angka, menjadi kunci utamanya. Apa contoh DISIPLIN yang diperlukan untuk level praktis ini?
Contoh:
- Disiplin mencatat jumlah kunjungan dan cold call,
- Disiplin membuat agenda kerja sehari sebelumnya,
- Disiplin membuat report harian,
- Disiplin waktu,
- Disiplin respons ke konsumen 1x24 jam,
- Disiplin menghubungi konsumen-konsumen lama anda,
- Dan sebagainya.
Mari kita telaah, dari 3 level ini, hanya satu yang membutuhkan problem solving skill yaitu di level taktis, dan itupun harus seirama dengan strategi yang kita inginkan dan disupport oleh DISIPLIN yang baik.
Masalah utama yang sering dihadapi oleh pelaku bisnis dan para klien ActionCOACH justru terletak di level strategi dan atau practical, jarang yang di tactical. Bahkan sering saya menemui, level tactical sales force sebuah perusahaan sudah jauh diatas rata-rata, namun strategi dan disiplinnya, jauh dibawah standar.
Karena itu saya memberanikan diri menyatakan: "Masalah terbesar di marketing dan selling adalah 'terlalu fokus memecahkan masalah'"
Saya mengajak para pelaku bisnis dan pembaca artikel ini untuk tidak terlalu cepat fokus ke masalah. Fokuslah dulu ke strategi, baru setelah ‘clear’, kita bisa memperkirakan potensi masalah apa saja yang harus kita siapkan solusinya.

(**Coach Humphrey Rusli adalah seorang pelatih bisnis Internasional dengan spesialisasi terutama di bidang sales dan marketing. Prestasi beliau diantaranya sebagai Coach of The Year 2014 (BEF Indonesia 2014), Sales Coach of The Year 2012 se-Asia dan Australia, serta Top Number #1 Business Coach yang mengalahkan lebih dari tiga ribu coaches seluruh dunia-Juli 2013)

Share your problem or (success) story with coach Humphrey! 

Senin, 13 Oktober 2014

ANAK SEBAGAI KARYAWAN? MENGAPA TIDAK? (Coach Suwito Sumargo**)

Suatu saat saya bertanya kepada pak Robert, seorang pengusaha: "Pak Robert, bolehkah saya tahu, mengapa Anda melibatkan istri dalam bisnis?" Dia menjawab: "Ini sudah komitmen kami. Sejak pacaran kami sudah sepakat untuk nantinya bersama-sama berkecimpung dalam bisnis. Saya tahu, istri saya, Listya, punya keunggulan dalam hal finance dan saya lebih mahir di bidang sales. Lagipula, usaha ini toh akan menjadi milik kami berdua."
Saya melanjutkan, "Oo...kalau begitu, apakah suatu saat nanti Anda berdua juga sepakat untuk melibatkan anak-anak dalam bisnis ini?" Saya pikir, pak Robert akan menjawab: "Ya."
Ternyata pak Robert menjawab dengan tegas, "Tidak. Anak-anak belum tentu kami libatkan dalam bisnis ini."
Saya pun mengangguk, tanda paham akan maksudnya.
Tiba-tiba, bu Listya yang duduk disampingnya berkata, "Nah, untuk urusan ini, sebetulnya kami belum sepakat. Saya lebih suka bila anak-anak dilibatkan sejak dini, supaya mereka ikut merasakan dan mulai belajar bisnis. Tapi suami saya lebih suka bila anak-anak sekolah dulu setinggi-tingginya."
Sore itu, kami bertiga terlibat dalam perbincangan hangat: Bisakah anak menjadi karyawan kita?
Bila ditanya seperti itu, kita (orang tua) mungkin akan menjawab dengan tegas: "Tidak!" Jawaban seperti ini mungkin didasari oleh pengalaman para orang tua yang merasakan pahit getirnya merintis usaha. Mereka tidak kepingin anak-anaknya terjerumus dalam kesulitan yang serupa. Maka orang tua pun mulai merevisi angan-angannya dan menanamkan paham yang baru: Jadi pegawai saja, karena lebih enak dan tidak pusing.
Sebaliknya, cukup banyak orang tua yang justru menjawab dengan antusias: "Ya, tentu saja mereka harus terlibat dalam bisnis." Inilah tipe orang tua yang berharap usahanya dilanjutkan oleh anak-anaknya. Orang tua seperti ini mungkin akan tetap memberi kesempatan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tapi, cepat atau lambat anak-anak ini akan dilibatkan dalam bisnis.
Pertanyaan selanjutnya: Apakah dalam merekrut anak-anak (atau anggota keluarga lain), mereka tetap harus mengikuti alur proses seleksi seperti karyawan lain pada umumnya?
Dan apakah anak-anak (atau anggota keluarga lain) yang bekerja di perusahaan milik keluarga, berhak mendapat privilege (perlakuan istimewa), karena statusnya itu?

Dari berbagai percakapan dengan teman-teman sesama pengusaha, saya menangkap beberapa jawaban:
·      Anak-anak tidak usah mengikuti proses seleksi, karena orang tua sudah tahu karakter dan keunggulan setiap anaknya. Mereka boleh melenggang, langsung masuk ke posisi atau jabatan tertentu.
·      Anak-anak harus mengikuti proses seleksi, sama seperti karyawan yang lain. Anak-anak ini harus tunduk dan patuh pada peraturan perusahaan. Tidak ada perlakuan istimewa, sebelum anak-anak ini menunjukkan kinerja terbaiknya, bahkan harus lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang lebih senior sekalipun.
·      Anak-anak dipastikan mendapatkan privilege, karena perusahaan ini memang didirikan untuk mereka. Ngapain anak-anak harus mengalami yang sulit-sulit? Itu hanya akan menghambat perkembangan anak-anak ini. Padahal, merekalah penerus usaha kita.
·      Anak-anak harus ikut proses seleksi yang dilakukan oleh pihak luar (yang kompeten dan netral). Dan tidak perlu mendapatkan privilege, karena dalam perusahaan hanya ada satu sikap: be profesional.
·      Dan masih banyak jawaban lain.
Setiap jawaban, tentu punya konsekuensi sendiri. Perusahaan keluarga memang unik, terutama bila keterlibatan keluarga di perusahaan itu tinggi sekali.
Nah, yang manakah jawaban Anda dan mengapa? Jika Anda di dalam bisnis keluarga sekarang, apakah arah perusahaan menuju yang diangankan atau berubah?
Share your problem or (success) story with coach Suwito!

(**Coach Suwito Sumargo adalah seorang pelatih bisnis Internasional yang sudah 30 tahun lebih membangun bisnis keluarga menjadi franchise yang sukses. Prestasi beliau diantaranya sebagai finalis Rookie Coach of the Year 2013, dan The Winner Supportive Coach & System Award Indonesia 2014)