Suatu saat saya bertanya kepada pak Robert,
seorang pengusaha: "Pak Robert, bolehkah saya tahu, mengapa Anda
melibatkan istri dalam bisnis?" Dia menjawab: "Ini sudah komitmen
kami. Sejak pacaran kami sudah sepakat untuk nantinya bersama-sama berkecimpung
dalam bisnis. Saya tahu, istri saya, Listya, punya keunggulan dalam hal finance dan saya lebih mahir di bidang sales. Lagipula, usaha ini toh akan
menjadi milik kami berdua."
Saya melanjutkan, "Oo...kalau begitu, apakah
suatu saat nanti Anda berdua juga sepakat untuk melibatkan anak-anak dalam
bisnis ini?" Saya pikir, pak Robert akan menjawab: "Ya."
Ternyata pak Robert menjawab dengan tegas, "Tidak.
Anak-anak belum tentu kami libatkan dalam bisnis ini."
Saya pun mengangguk, tanda paham akan maksudnya.
Tiba-tiba, bu Listya yang duduk disampingnya
berkata, "Nah, untuk urusan ini, sebetulnya kami belum sepakat. Saya lebih
suka bila anak-anak dilibatkan sejak dini, supaya mereka ikut merasakan dan mulai
belajar bisnis. Tapi suami saya lebih suka bila anak-anak sekolah dulu
setinggi-tingginya."
Sore itu, kami bertiga terlibat dalam perbincangan
hangat: Bisakah anak menjadi karyawan kita?
Bila ditanya seperti itu, kita (orang tua) mungkin
akan menjawab dengan tegas: "Tidak!" Jawaban seperti ini mungkin
didasari oleh pengalaman para orang tua yang merasakan pahit getirnya merintis
usaha. Mereka tidak kepingin anak-anaknya terjerumus dalam kesulitan yang
serupa. Maka orang tua pun mulai merevisi angan-angannya dan menanamkan paham
yang baru: Jadi pegawai saja, karena lebih enak dan tidak pusing.
Sebaliknya, cukup banyak orang tua yang justru
menjawab dengan antusias: "Ya, tentu saja mereka harus terlibat dalam
bisnis." Inilah tipe orang tua yang berharap usahanya dilanjutkan oleh
anak-anaknya. Orang tua seperti ini mungkin akan tetap memberi kesempatan
anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tapi, cepat atau lambat
anak-anak ini akan dilibatkan dalam bisnis.
Pertanyaan selanjutnya: Apakah dalam merekrut
anak-anak (atau anggota keluarga lain), mereka tetap harus mengikuti alur
proses seleksi seperti karyawan lain pada umumnya?
Dan apakah anak-anak (atau anggota keluarga lain)
yang bekerja di perusahaan milik keluarga, berhak mendapat privilege (perlakuan istimewa), karena statusnya itu?
Dari berbagai percakapan dengan teman-teman sesama
pengusaha, saya menangkap beberapa jawaban:
·
Anak-anak tidak usah mengikuti proses
seleksi, karena orang tua sudah tahu karakter dan keunggulan setiap anaknya.
Mereka boleh melenggang, langsung masuk ke posisi atau jabatan tertentu.
·
Anak-anak harus mengikuti proses
seleksi, sama seperti karyawan yang lain. Anak-anak ini harus tunduk dan patuh
pada peraturan perusahaan. Tidak ada perlakuan istimewa, sebelum anak-anak ini
menunjukkan kinerja terbaiknya, bahkan harus lebih baik dibandingkan dengan
karyawan yang lebih senior sekalipun.
·
Anak-anak dipastikan mendapatkan privilege, karena perusahaan ini memang
didirikan untuk mereka. Ngapain anak-anak harus mengalami yang sulit-sulit? Itu
hanya akan menghambat perkembangan anak-anak ini. Padahal, merekalah penerus
usaha kita.
·
Anak-anak harus ikut proses seleksi
yang dilakukan oleh pihak luar (yang kompeten dan netral). Dan tidak perlu
mendapatkan privilege, karena dalam
perusahaan hanya ada satu sikap: be
profesional.
·
Dan masih banyak jawaban lain.
Setiap
jawaban, tentu punya konsekuensi sendiri. Perusahaan keluarga memang unik,
terutama bila keterlibatan keluarga di perusahaan itu tinggi sekali.
Nah,
yang
manakah jawaban Anda dan mengapa? Jika Anda di dalam bisnis keluarga sekarang,
apakah arah perusahaan menuju yang diangankan atau berubah?
Share your problem or (success) story with coach
Suwito!
(**Coach Suwito Sumargo adalah seorang pelatih bisnis Internasional yang
sudah 30 tahun lebih membangun bisnis keluarga menjadi franchise yang sukses.
Prestasi beliau diantaranya sebagai finalis Rookie Coach of the Year 2013, dan
The Winner Supportive Coach & System Award Indonesia 2014)
0 komentar:
Posting Komentar