business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Kamis, 27 November 2014

NIAT - By: Coach Humphrey

“Aduh, anak buah saya kok gak niat kerja, sih!”
Begitu keluhan beberapa pengusaha yang sering saya dengar. Sebenarnya apa niat itu, dan apa hubungannya dengan konteks SDM atau tim dalam sebuah bisnis?
Dari diskusi dengan para pemilik bisnis, saya simpulkan, niat merupakan itikad atau keseriusan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam bisnis, tim merupakan aset bagi perusahaan. Jadi, kalau anak buah tidak punya niat, maka bisa dikatakan kita punya aset yang tidak baik.
Itulah sebabnya, jika ingin bisnis kita sukses, maka perlu untuk membina tim dengan baik. Perlu membangkitkan niat mereka untuk bekerja dengan optimal dan mendukung kemajuan perusahaan. Sering kita lihat, gara-gara nggak niat, orang pintar sekalipun jadi tidak berguna buat perusahaan.
Seorang anak buah dikatakan tidak niat jika dia memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, tapi dia lebih memilih tidak melakukan. Tipe seperti ini adalah bad fruit atau buah buruk dalam perusahaan, yang mau tidak mau harus segera dibuang sebelum merugikan perusahaan.
Masalahnya, selama ini kasus yang saya jumpai justru bukan berasal dari anak buah yang nggak niat, tapi dari pengusahanya sendiri yang keliru menilai. Anak buah sering dicap nggak niat, padahal mereka hanya tidak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan. Bisa berarti tidak mampu karena skillnya kurang. Atau dia mampu, namun tidak ada waktu cukup untuk menyelesaikannya. Hal itu yang kemudian membuat niat mereka jadi ‘surut’.
Lalu bagaimana caranya untuk membangkitkan niat pada anak buah?
Pertama, memastikan kecocokan skill atau pengalaman. Tujuannya agar perintah yang diberikan mudah diserap dan anak buah punya rasa PD mengerjakan karena punya skill dan background yang sama.
Contoh perintah yang diberikan bisa seperti, “Saya lihat anda pernah melakukan pekerjaan XYZ. Nah, saya minta anda melakukan lagi, namun dengan sedikit perubahan.”
Kedua adalah setting timing yang jelas. Kita harus tahu waktu atau kapan anak buah mengerjakan tugas yang kita berikan. Sebaiknya ditanyakan kapan mereka melakukan kerjaannya, kapan waktu selesainya. Jika mereka tidak mampu, maka kita hendaknya membantu yang bersangkutan.
Mungkin bisa dengan memberi penjelasan, tugas mana dulu yang diutamakan, kesulitannya apa saja, dan sebagainya. Intinya, pastikan dia memiliki alokasi waktu yang cukup untuk menjalankan perintah kita.

Gimana? Sebenarnya mudah bukan untuk membuat anak buah kita niat bekerja?

Senin, 24 November 2014

BISA DAN TERBIASA - By: Coach Suwito Sumargo

Seorang pebisnis resah, karena tak kunjung menemukan karyawan yang diinginkan. Ketika mendengar keluh kesahnya, saya bertanya: "Pekerjaan apa saja yang harus dilakukan si (calon) karyawan?".
Dia menjawab: "Menulis bon pesanan, faktur penjualan, mengatur-memeriksa-mencatat barang-barang yang masuk/keluar, stok opname...ehm, apalagi ya?".
Kami pun terdiam. Setelah beberapa saat, saya bertanya: "Masih ada lagikah yang harus dia kerjakan?". Dengan raut wajah ragu, dia bertanya: "Terlalu banyak ya, Coach?".
Saya tidak terlalu menanggapi tentang detil pekerjannya. Bagi saya, yang terpenting adalah seorang pimpinan harus tahu apa saja yang akan dikerjakan karyawannya, lalu menentukan karakter dan keahlian seperti apa yang seharusnya dimiliki mereka (karyawannya), agar tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan administrasi, membutuhkan ketelitian/kecermatan, kerapian, kemampuan berpikir sistematis dan logis. Semua ini bisa dikenali lebih dulu melalui psikotes. Namun, tak ada salahnya bila hasil psikotes tersebut di periksa ulang atau dibandingkan dengan apa yang dilakukan sehari-hari. Misalnya: seberapa teliti/cermatnya, seberapa rapi dan sistematis/logis dalam melakukan tugas sehari-hari. Bisa saja, ada perbedaan antara hasil tes dengan kenyataan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya ialah, apakah mereka bisa bertahan dengan pekerjaan yang itu-itu saja? Apakah mereka tidak bosan? Karena kita tidak butuh karyawan yang hanya bisa bekerja sebentar atau selama beberapa hari/minggu saja, tapi butuh karyawan yang bisa dan terbiasa melakukan pekerjaan yang sama, terus menerus tanpa bosan.

Terbiasa berarti bisa mengerjakan terus menerus, hingga menjadi kebiasaan. Agar bisa terbentuk kebiasaan kerja yang konsisten, butuh karakter yang stabil dan tidak neko-neko. Teliti kembali karakter karyawan Anda, siapa tahu mungkin butuh penataan ulang atau pelatihan lagi, agar bisa lebih optimal.

Jumat, 21 November 2014

PEOPLE OR SYSTEM - ( Intisari Forum Discussion Group (FDG) II – 14 Nov ’14 )

Mana yang lebih dulu, ayam atau telur?
Bagi pebisnis, menjawab hal ini seperti menjawab pertanyaan: mana yang lebih penting, membentuk sistem dulu baru merekrut SDM? atau sebaliknya?
Dalam sebuah riset yang diadakan oleh tim Research and Development kami, sebanyak 79% pebisnis memilih sistem lebih dulu. Dengan adanya sistem, semua akan teratur atau terencana, sehingga orang-orang yang ada akan bekerja sesuai dengan sistem yang sudah dibuat. Sedangkan sisanya, sebanyak 21% lebih memilih merekrut SDM dulu, dengan alasan jika orang-orangnya tidak ‘mumpuni’, maka sistem yang lahir nantinya juga akan buruk atau tidak berkualitas.
Sebenarnya apa itu sistem? Apa pentingnya sistem dalam bisnis kita? Dari forum diskusi yang kami adakan beberapa waktu lalu (Jum’at, 14 Nov ’14), sebagian besar pemilik usaha berpendapat, intinya sistem merupakan sesuatu yang terencana, di dalamnya terdapat orang-orang yang keseluruhannya mengacu pada visi-misi perusahaan.
Sistem bisa saja lahir pada saat kita pertama kali membangun usaha atau pada saat usaha mulai besar dimana proses pekerjaan kita sudah dapat didelegasikan ke bawahan. Sederhananya, sistem itu berangkat dari aturan main. Sebuah aturan main bisa kemudian disebut sistem jika ‘dia’ terbukti bagus, dalam artian bisa menghasilkan profit yang berkelanjutan.
Lebih jauh bicara tentang sistem, kita juga harus memiliki sistem default sebagai acuan. Jika sistem baru yang kita buat tidak sesuai dengan lapangan kita bisa kembali ke sistem default. Sistem default adalah sistem yang berlaku di lapangan, tidak didesain sebelumnya dan berjalan apa adanya.
Ada kasus menarik yang diberikan coach Humphrey Rusli (moderator FDG II) dalam forum ini. Contohnya fakta yang dialami oleh salah satu pengusaha kuliner, waktu usahanya berdiri di daerah kumuh, rumah makannya ramai dikunjungi pelanggan. Namun, ketika pindah ke tempat yang lebih besar dan bersih, pengunjung malah banyak yang ‘lari’ dan menurun drastis. Beberapa perusahaan seperti ini, sistemnya amburadul tetapi sukses, dan setelah sistemnya dirapikan justru mengalami kerugian. Kok aneh, ya? Menurut anda, kira-kira apakah ada yang salah dengan perubahan sistemnya dan bagaimana solusinya?


JANGAN JADI AKTOR UTAMA SAJA
Selama ini, sebagian besar pengusaha atau pemilik bisnis hanya menempatkan dirinya sebagai aktor utama. Apa yang saya rasakan, apa saja yang harus saya lakukan, menurut saya gimana. Mereka terlalu berkutat untuk perbaikan diri sendiri, tanpa menyadari bahwa melihat dari sisi konsumen (market) adalah hal yang tak kalah pentingnya.
Market itu tidak mengenal teori, diperlukan analisa dan penggalian informasi yang akurat jika kita ingin membuat sistem, terutama dalam menggali jenis dan kemauan konsumen kita. Selama ini konsumen membeli produk kita karena apa?
Secara garis besar, ada 3 faktor yang menyebabkan konsumen memakai produk atau jasa kita:
1.     Fungsionalitas. Poin ini seperti pelayanannya cepat, murah, komplit, dan tempatnya dekat/ mudah ditemukan dimana-mana.
2.     Emosional. Kesan apa yang ingin didapatkan ketika memakai sebuah produk atau jasa. Seperti kesan mewah, gengsi, pintar, dan masih banyak lagi.
3.     Familiaritas. Seperti kebiasaan yang sering dilakukan dan konsumen merasa nyaman dengan kebiasaan itu.
Pada kasus pengusaha kuliner (rumah makan) di atas, pelanggan ‘setia’ mungkin lebih memilih datang ke depot kumuhnya, karena sudah terbiasa dan nyaman disitu (faktor familiaritas). Bisa juga karena tempatnya yang mudah dijangkau (faktor fungsionalitas). Sebab itu, tidak mengherankan jika kemudian rumah makannya menjadi sepi ketika dia pindah tempat.
Alangkah baiknya, jika pengusaha itu ingin melebarkan ‘sayap’ bisnisnya, bisa dengan membuka cabang baru, tempat baru, jenis atau segmen konsumen baru, dan dengan pendekatan yang baru juga. Entah itu melalui pendekatan fungsionalitas, emosionalnya, maupun familiaritas. Itu jika kita bicara tentang konsumen bisnis sendiri, bagaimana dengan konsumen dari kompetitor? dalam dunia usaha, tentunya bukan hal baru jika setiap pengusaha saling berebut konsumen atau pasar.
Ada beberapa cara merebut konsumen yang sudah loyal dengan produk tertentu, diantaranya:
1.     Mengeluarkan produk yang berbeda/ unik. Bersifat lain daripada kompetitornya.
2.     Mengeluarkan produk yang sejenis dan menyamakan familiaritasnya dengan kompetitor. Misal mie merk XYZ, yang mengeluarkan jenis produk sama dengan kompetitornya seperti mie kuah rasa soto koya dan masih banyak lagi.
Sebenarnya sulit untuk merebut konsumen yang membeli suatu produk/ jasa karena familiaritasnya, untuk itu alangkah baiknya jika kita menciptakan konsumen dengan segmen sendiri. 

Kembali ke pertanyaan utama: mana yang lebih penting, membentuk sistem dulu baru merekrut SDM? atau sebaliknya? dari FDG II ini disimpulkan, sebaiknya sistem ditentukan atau dirancang terlebih dahulu oleh pemilik perusahaan, karena pemilik perusahaan paling berperan besar dan yang lebih banyak menanggung resiko jika sistem yang dijalankan ‘amburadul’.

Kamis, 20 November 2014

BRAND = MAHAL? - By: Coach Ruaniwati

Mungkin ungkapan itu disetujui oleh para pengusaha yang sedang berjuang memperkuat brand-nya di level menengah kecil atau bagi mereka yang baru mulai usaha. Benarkah demikian?
Dengan tumbuhnya media-media baru, apps, dan tools lainnya yang menggunakan internet, anggapan bahwa menciptakan brand yang kuat adalah usaha yang mahal semakin tidak terbukti.
GRATIS, mungkinkah? Berbeda dengan yang dipikirkan orang, meski kebanyakan layanan media online biasanya gratis, namun kita jarang menghitung besar biaya untuk tenaga, waktu dan pikiran kita jika melakukan aktifitas online itu benar-benar dihitung.
Karena secanggih apapun medianya ujung-ujungnya didasari oleh kreatifitas dan konsistensi.
Ada 3 cara sederhana untuk meningkatkan "brand" Anda:
1. Jadilah story teller
Temukan sebenarnya siapa prospek terkuat produk / jasa Anda, dimana mereka berada, bagaimana mereka berkomunikasi dan berinteraksi. Dari sinilah kita menentukan media apa yang digunakan dan bagaimana menyampaikan kisah istimewa Anda.
Jika kisah yang Anda sampaikan tepat sasaran, menarik, mungkin juga provokatif, maka calon pelanggan / pelanggan akan dengan rela menyampaikan kembali kisah Anda kepada orang lain.
Galilah apakah ada nilai, proses, kelebihan, solusi tertentu dalam produk Anda. Jika hal-hal ini disampaikan dengan cerita yang didesain dengan tepat, maka "brand" Anda terangkat dengan sendirinya
Salah satu contoh misalnya sebuah produk makanan ringan menggunakan resep yang organik dan sehat, menggunakan pewarna makanan alami, melakukan proses pembuatan yang diawasi kebersihannya sehingga produk yang dihasilkan sangat baik mutunya. Namun proses pembuatan ini tidak pernah diceritakan kepada pelanggan, sehingga pelanggan tidak jelas mengetahui apa perbedaan dengan produk lain sejenis.
Dengan tidak menceritakan hal ini sebenarnya kita sedang mengabaikan potensi-potensi yang kita miliki untuk memperkuat brand kita sendiri. Sayang sekali bukan?
2. Setialah pada proses
Proses artinya apa & bagaimana langkah-langkah yang perlu dikerjakan di internal perusahaan untuk memastikan produk / jasa Anda sama kualitasnya dari waktu ke waktu.
Proses artinya selalu ada kemungkinan untuk perbaikan terus menerus.
Proses selalu memerlukan waktu, tidak dapat di by pass. Lakukan dengan disiplin sampai proses ini dapat diulang-ulang secara otomatis oleh seluruh bagian di dalam perusahaan.
Artinya, jika prosesnya benar maka hasilnya dipastikan juga benar, jika dilakukan terus menerus, maka brand Anda akan dipersepsikan juga dengan benar.
3. Ukurlah
Jika kita melakukan aktifitas promosi dan marketing, yang adalah salah satu cara membangun brand, ukurlah apakah aktifitas tersebut efektif hasilnya. Dengan mengukur artinya Anda meng-konversi-kan yang tidak terhitung menjadi ANGKA. Mengapa demikian? Dengan angka kita mendapatkan trend. Jika kita mengetahui mengapa angka tertentu muncul, maka kita dengan mudah dapat mengulangi aktifitas yang sama supaya menghasilkan hasil yang sama atau sebaliknya, mengubah atau meniadakan aktifitas tertentu yang tidak efektif. Semakin baik angka yang Anda capai, maka semakin besar kemungkinan brand Anda dikenal.
Ceritakan keberhasilan Anda kepada kami di ruaniwati@baracoaching.com. Have fun!

Salam The Next Level!

Senin, 17 November 2014

BINCANG BISNIS - SETIAP PEBISNIS PUNYA ‘KAKAP’ BERBEDA


Mendapat pelanggan ‘kakap’ sekaligus loyal merupakan mimpi bagi setiap pebisnis. Namun, tidak semua punya strategi tepat untuk mendapatkannya. Dalam bincang bisnis yang diadakan pada Sabtu (15/11/14) ini, ActionCOACH BARACoaching Surabaya mengungkap step by step menjaring pelanggan ‘kakap’ dengan mudah.
Acara ini, menurut Humphrey Rusli selaku pembicara, hadir karena sebagian besar pebisnis hanya menganggap, bahwa mendapatkan pelanggan ‘kakap’ hanya mitos  belaka.
“Mereka tidak paham ada kesempatan untuk menjaring. Selain itu, caranya juga mereka tidak tahu,” tutur coach Humphrey, yang juga sebagai COO BARACoaching.
Ada beberapa pokok materi yang disampaikan dalam acara ini. Diantaranya beberapa kasta atau klasifikasi konsumen, dan cara untuk menjaring pelanggan kakap.
“Kenapa ada klasifikasi konsumen? Karena tidak semua konsumen ternyata menguntungkan dan bisa dikatakan kakap. Salah satu kriteria konsumen atau pelanggan kakap adalah mereka yang loyal terhadap usaha kita. Loyal dalam artian bukan hanya setia memakai produk atau jasa Anda. Namun juga mereferensikan usaha Anda kepada yang lain,” papar coach Humphrey.
Meskipun begitu, lanjut coach Humphrey, tidak semua perusahaan siap untuk menjaring pelanggan kakap. Hal pertama yang mesti Anda lakukan adalah mengelompokkan konsumen Anda sesuai dengan spesifikasi atau jenisnya. Setelah itu baru memutuskan, konsumen atau pelanggan mana yang Anda anggap sebagai pelanggan ‘kakap’ Anda.
Dalam acara khusus pemilik ini, pelatih bisnis Internasional ini berharap, para peserta memahami, bahwa menjaring pelanggan kakap itu adalah sebuah tindakan aktif, terstruktur dan didesain dengan jelas.
“Saya harap, mereka juga paham apa definisi pelanggan kakap itu, sekaligus mendapat clearity, siapa pelanggan kakap di usaha mereka. Setiap perusahaan punya pelanggan kakap yang berbeda-beda. Kakap di usaha satu, belum tentu sama dengan kakap di usaha lainnya,” tegas Business Coach of The Year Indonesia 2014 ini.

Kamis, 13 November 2014

TERNYATA DISKON BISA MENJEBAK PEBISNIS


Dalam persaingan bisnis, banyak hal dilakukan pengusaha untuk menarik konsumen. Salah satunya dengan memberikan diskon ‘gede-gedean’ ataupun harga miring dibandingkan pesaingnya. Hati-hati, karena hal ini malah menjebak Anda dalam price war (perang harga) dan merugikan bisnis Anda. Bagaimana mengatasinya?
Menjawab hal ini, BARACoaching Surabaya (ActionCOACH East Java-Bali) mengadakan forum bertajuk “Winning the Price War”. Bertempat di Ballroom BARACoaching, PTC Surabaya, acara ini diadakan dua kali, Jum’at (31/10) dan Sabtu (01/11).
Di awal acara, salah satu peserta berpendapat, alasan pengusaha memberi diskon atau harga miring adalah karena permintaan pasar atau konsumen.
“Sebenarnya permintaan pasar itu kita (pengusaha) sendiri yang bikin. Awalnya kita berniat membuka pasar lewat diskon dan harga murah pada konsumen. Lama-kelamaan hal ini jadi habit atau kebiasaan. Siapa yang salah jika kemudian konsumen terus minta harga murah?” papar coach Humphrey Rusli, selaku pembicara dalam forum hari ini.
Ada  6 langkah yang bisa dilakukan pengusaha untuk menghindari jebakan perang harga. Pelatih bisnis Internasional ini menyebut, yang pertama  adalah mastery. Mastery merupakan pondasi bagi pengusaha untuk melakukan pembenahan dalam bisnisnya. Meliputi disiplin waktu, manajemen keuangan, serta konsistensi.
Poin kedua membahas tentang keunikan produk/ jasa (niche). Poin ini berbicara tentang apa yang menjadi pembeda antara Anda dengan pebisnis lain, sehingga lebih ‘dilirik’ atau didatangi konsumen. Bisa dengan menjadi pelopor dalam menciptakan produk baru (inovasi), menjadi yang terbaik (the best), dan menciptakan produk atau jasa yang sifatnya beda dari kompetitor Anda.
 Empat langkah selain di atas yaitu daya ungkit (leverage), pembentukan tim (team), synergy, dan freedom.
Di akhir acara, Coach Humphrey berharap, setelah mengikuti acara ini peserta mengerti bagaimana ‘rumus’ menemukan atau membentuk konsumen loyal.
“Saya berharap mereka paham bagaimana membentuk customer yang loyal sekaligus memenuhi kebutuhan customer secara konsisten. Memenangkan hati customer bisa menjadikan Anda tidak perlu lagi terjebak dalam perang harga,” tutur Coach of The Year 2014 (BEF Award Indonesia) ini.

Basic Service, Cukupkah? - By: Coach Suwito


Kali ini saya ingin berbagi tentang pengalaman saya. Pagi tadi, saya sarapan di sebuah hotel bintang 3. Ketika keluar dari lift, seorang petugas menyapa dengan santun: "Selamat pagi Pak Suwito. Apakah Bapak mau sarapan?" (...wah, dia kok tahu nama saya?).
Saya pun menjawab: "Ya". Dia melanjutkan: "Mari saya antar. Bapak tidak merokok, bukan? Mau duduk dekat jendela atau di tempat yang lebih sejuk?" (...lho, dia kok tahu bahwa saya ndak merokok?). Dan sambil berjalan menuju tempat sarapan, dia juga menawarkan: "Saya ambilkan koran ya Pak? Mau baca koran apa Pak?"
Layanan seperti ini biasanya hanya saya dapat di hotel langganan, jadi mereka tahu kebiasaan dan kegemaran saya. Dan layanan seperti ini juga hanya tersedia di hotel bintang empat (ke atas).
Tapi, pagi ini saya menerima layanan 'istimewa', diluar ekspektasi. Saya pikir, semua hotel bintang 3 (ke bawah) layanannya biasa-biasa saja. Tapi, hotel yang saya kunjungi kali ini, sungguh luar biasa. Meski hanya bintang 3, tapi layanannya sudah setara bintang 4 (ke atas).
Pernahkah Anda memikirkan, seberapa baik layanan yang disajikan perusahaan Anda?
Kalau selama ini kita baru berjuang agar layanan kita tidak lebih buruk dari yang semestinya. Sehingga kita tidak sempat lagi menaikkan standar layanan perusahaan kita. Padahal, kita tetap wajib menjaga agar di setiap bagian yang berhubungan dengan pelanggan (client), harus tetap memenuhi harapan para pelanggan.
Layanan yang biasa-biasa saja, mungkin tak lagi memenuhi harapan. Para pelanggan butuh sesuatu yang lebih istimewa. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memenuhi atau menaikkan standar layanan:
1.       Melakukan Survey Terhadap Konsumen/ Pelanggan.
Survey bisa juga disebut sebagai bentuk komunikasi Anda dengan konsumen. Dengan melakukan survey, Anda bisa melakukan evaluasi, apa yang masih menjadi kekurangan Anda, serta apa yang diharapkan dan dibutuhkan konsumen dari Anda. Bukan tidak mungkin, dengan survey, Anda bisa selangkah lebih maju dari kompetitor dalam ‘menggaet hati’ konsumen.
Selain itu, Anda juga bisa mengetahui tingkat kepuasan mereka terhadap produk atau jasa yang Anda berikan. 
2.    Melihat Kompetisi Perusahaan
Untuk menaikkan standar layanan, Anda bisa mengikuti perkembangan layanan kompetitor. Seperti apa standar layanan mereka. Melakukan survey (poin 1) bisa membantu Anda, mendeteksi sejauh mana  kekuatan kompetitor Anda.
3.    Selalu Update Standar Layanan Konsumen
Standar layanan konsumen merupakan selera umum yang diinginkan oleh sebagian besar masyarakat. Kita bisa update standar layanan apa yang diinginkan konsumen, dengan mengikuti perkembangan informasi dari lembaga (profesi) yang mengumumkan standar layanan konsumen. Misalnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dsb.
4.    Statement Visi-Misi-Budaya Perusahaan.
Buatlah visi, misi, serta budaya perusahaan yang bersifat seimbang. Bukan hanya mencerminkan kepentingan perusahaan saja, namun juga untuk kepentingan konsumen, bahkan masyarakat umum.

Setelah membaca artikel di atas, pertanyaannya: Apa standar layanan Anda selanjutnya? Apakah ada peningkatan standar?
Salam The NEXT Level!

Kamis, 06 November 2014

EMPAT TIPE ENTREPRENEUR - By: Coach Humphrey


Dari pengalaman dunia business coaching yang saya geluti selama ini dan juga diskusi dengan beberapa coaches, kami menemui adanya pemilik-pemilik bisnis yang memiliki kesamaan cara pandang dan pola pikir dalam menjalankan bisnis mereka.
Lewat artikel bisnis singkat ini, saya coba ceritakan dan kelompokkan cara pandang tersebut menjadi 4 tipe entreprenuer. Keempat tipe ini tidak bersifat eksklusif, namun mewakili sebagian besar pola pikir para pemain bisnis yang selama ini telah kami dampingi.
Setiap tipe memiliki kelebihan dan juga kelemahan yang bersifat inherent (bawaan natural dari setiap tipe). Saya berharap, dengan artikel ini para pembaca bisa memahami kecenderungan setiap tipe. Selain itu, menemukan cara untuk memperkuat kelebihan dan membuat kelemahan di setiap tipenya tidak relevan dalam bisnis.

Tipe 1: The Maker
Tipe ini adalah tipe pedagang alamiah. Seorang bertipe maker sangat mudah untuk menemukan peluang di berbagai bisnis dan mampu fokus ke banyak hal sekaligus. Kelebihan ini membuat si maker mudah mendapatkan untung di bisnis, karena mampu menemukan ceruk pasar dengan cepat dan tepat. Daya cium yang tinggi terhadap uang/profit membuat tipe maker memiliki wawasan yang sangat luas, network yang berkualitas dan intuisi bisnis yang tinggi.
Kelemahan tipe maker adalah jarang mau fokus di bisnis yang sama dan mudah untuk beralih ke bisnis lainnya, bila keuntungan dari bisnis yang lama tidak lagi menggairahkan.

Tipe 2: The Breeder
Hampir sama dengan sifat maker di atas, namun tipe breeder lebih suka membuka bisnis baru yang bersifat pioneer (belum ada atau belum banyak dilirik orang lain). Dan pada saat yang sama memiliki kesenangan untuk melebarkan sayap seluas-luasnya.
Indikasi umum tipe ini adalah adanya ambisi permanen dalam membuka cabang. Bahkan ketika bisnis itu belum siap tinggal landas alias masih kecil, si breeder sudah berencana untuk membuka cabang atau dengan mudah menerima tawaran pembelian franchise dari para peminatnya.
Tipe ini suka “mengoleksi" bisnis dan bangga bila bisa punya bisnis banyak (konglomerasi). Bila tipe breeder memiliki etos kerja keras dan berani hidup hemat, maka kemungkinan besar tipe ini adalah calon konglomerat masa depan. Namun jeleknya bila tidak dilengkapi dengan kecerdasan financial yang memadai, tipe breeder dengan sangat cepat bisa pailit dililit hutang besar.

Tipe 3: The Keeper
Tipe ini adalah jenis entrepreneur yang sangat perhatian dengan “daya tahan” perusahaan. Ibarat di permainan bola sepak, tipe keeper adalah pengusaha yang sangat pandai bertahan dan membangun sistem pertahanan yang super kokoh. Setiap sistem yang dibangun selalu diupdate berkala untuk mengantisipasi "kebocoran-kebocoran" di perusahaannya.
Si keeper biasanya sangat cermat dan tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat spektakuler. Mottonya adalah yang penting selamat dan bisa bertahan lama. Bila diberi pilihan, mana yang akan lebih menggembirakan si keeper: "Dapat uang extra satu juta ATAU berhasil mencegah hilangnya satu juta?" Dengan cepat si keeper akan memilih yang terakhir.
Kemampuan bertahan ini akan sangat diperlukan ketika kondisi ekonomi/bisnis makro dilanda resesi. Perusahaan si keeper akan keluar sebagai pemenang dan mampu bertahan, sedangkan kompetitornya sudah kolaps duluan. Kekurangannya, entrepreneur tipe keeper akan lambat kemajuannya dan tidak gesit merebut pasar yang ada dan cenderung sulit mendapatkan salesman yang agresif karena ketidakcocokkan sifat dengan si keeper.

Tipe 4: Builder
Tipe ini punya kecenderungan untuk melihat bisnis sebagai sebuah entitas aset yang suatu saat bisa mandiri dan bisa menghidupi diri sendiri, bahkan bisa memiliki anak-anak perusahaan. Entrepreneur jenis builder ini sangat peduli, dengan membuat segala sistem dan alur kerja menjadi mudah dipahami siapa saja. Tidak ada atau sedikitpun yang dirahasiakan. Anak buahnya dididik untuk paham aturan dengan jelas, termasuk alasan kenapa aturan itu dibuat.
Simplicity atau kesederhanaan menjadi kunci utama bagi si builder. Semua hal yang sulit dan rumit harus bisa disederhanakan, sehingga ibaratnya anak SMP pun bisa melakukan bila dididik dengan baik. Kekuatan sifat ini membuat dia tidak perlu banyak merekrut orang yang pandai secara akademis. Semuanya dibuat mudah dan dipecah kecil-kecil, sehingga merekrut anak lulusan SMA pun sudah cukup. Ini membuat konsistensi pelayanannya tidak tergantung kemampuan individu, dan konsumen bisa dilayani dengan standar yang sama.
Resiko dengan sifat entrepreneur builder adalah, karena sedikit yang dirahasiakan, dan karena semuanya dibuat "mudah", bisnis si builder rentan di "copy" oleh kompetitor (yang biasanya mantan anak buah si builder tersebut)
Keempat tipe di atas biasanya akan hadir secara komplementer (saling melengkapi), namun selalu ada salah satu atau salah dua yang lebih dominan dan menonjol pada seorang pebisnis.
Nah, tipe entrepreneur manakah yang lebih dominan pada Anda?