Maraknya film Mahabaratha yang sekarang tayang di
salah satu TV swasta mengingatkan saya tentang keberadaan wayang Jawa. Meskipun
berasal dari negeri sendiri, cerita pewayangan Jawa sedikit banyak juga diadopsi
dari kisah dewa-dewa dalam agama Hindu, yang berasal dari India. Seperti
Mahabaratha yang bercerita tentang perselisihan Pandawa-Kurawa, serta Ramayana
yang bercerita tentang kisah cinta Rama (perwujudan Dewa Wisnu) dan Shinta (Dewi
Laksmi).
Wayang sebagai salah satu warisan budaya, dikenal
sebagai bentuk budaya adiluhung. Artinya, budaya yang mempunyai nilai-nilai
luhur. Cerita-cerita yang disampaikan selalu mengajarkan pesan moral, seperti
empati, kejujuran, bijaksana, tanggung jawab, keadilan, dan budi pekerti yang
baik.
Meskipun seiring perkembangan zaman, budaya wayang
Jawa sudah semakin tergeser, namun tak dapat dipungkiri, banyak nilai-nilai
filosofi yang bisa diambil dan diimplementasikan dalam kehidupan sekarang. Salah
satunya dalam dunia bisnis.
Seorang pemimpin bisnis, hendaknya bukan hanya
memahami kompetensi bisnis yang dijalankan. Lebih jauh, juga menerapkan nilai-nilai
moral, karena bisnis bukan hanya tentang bagaimana dia menjalankan bisnisnya,
tapi juga bagaimana dia berhubungan dengan orang lain untuk kesuksesannya.
Banyak sekali teladan kepemimpinan yang bisa dilihat
dalam budaya kuno wayang Jawa. Pembelajaran tentang bagaimana seorang pemimpin
harus bersikap dan bertindak. Baik dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain, serta terhadap penciptanya.
Diantaranya cerita tentang lakon Yudistira
(Puntadewa), si sulung Pandawa yang terkenal akan kebijaksanaan dan budi
pekertinya yang luhur. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk
mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang,
lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali.
Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali.
Akhirnya menyusullah Puntadewa. Sesampainya di
telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi
telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau
meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya.
Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil
berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Puntadewa
menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka
merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan
kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat
untuk penyangga tubuhnya.
Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika
ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan diminta
untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakulalah yang ia minta untuk dihidupkan
karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari
Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra
sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturunan Pandu dari Dewi Madrim dan
Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu
menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma.
Dari cerita tersebut, suatu ajaran yang baik
diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Sampai sekarang, keadilan merupakan kebutuhan bagi
setiap manusia. Dalam dunia usaha atau bisnis, membentuk lingkungan kerja yang
teratur dan produktif bukanlah hal yang
mudah. Semua orang bisa menjadi pemimpin, tapi belum tentu menjadi pemimpin yang
adil. Tak jarang karyawan melakukan protes atas kebijaksanaan pemimpin yang
dinilai tidak adil. Hal ini karena setiap manusia memiliki hak untuk
diperlakukan sama.
Seorang pemimpin bisnis dituntut untuk berlaku
adil dan seimbang, pertama dalam hal yang berhubungan dengan peraturan ataupun
kebijaksanaan perusahaan. Jangan pernah membandingkan atau bersikap tidak adil
antara karyawan yang satu dengan yang lainnya. Jika harus mengambil keputusan,
keputusan itu bersifat netral, bisa menguntungkan perusahaan dan karyawan Anda.
Selain itu, jangan tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan. Berusahalah menempatkan diri pada posisi yang lain, jangan selalu melihat
dari ‘kacamata’ diri kita. Dengan sikap empati, diharapkan kita bisa memandang
dari perspektif orang lain, dan berlaku seimbang.
Dalam kisah Puntadewa, bisa saja dia meminta
Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung, namun secara
bijaksana ia memilih Nakula, agar keturunan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi
Kunti tetap ada.
Jika dihubungkan dengan kepemimpinan sekarang,
seorang pemimpin, dalam menjalankan roda perusahaan, wajib menyingkirkan ego
dalam dirinya. Dia harus bisa menempatkan antara kepentingan atau masalah
perusahaan dengan kepentingan keluarga atau pribadi. Perlu adanya ketegasan
untuk membedakan keduanya. Jangan sampai nantinya kebijakan perusahaan akan
lebih meng’gemuk’kan salah satu pihak.
Lalu bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda bersikap
adil dalam bisnis Anda? Teladan apalagi yang bisa kita ambil dari lakon
pewayangan Jawa? Baca kelanjutannya dalam “FILOSOFI KEPEMIMPINAN MASA KINI
DALAM BUDAYA KUNO WAYANG JAWA (Part II)”.