business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Kamis, 26 Maret 2015

SIASAT CERDAS AGAR BAYAR PAJAK LEBIH MURAH

Selain forum bisnis, BARACoaching Surabaya (ActionCOACH East Java-Bali) juga mengadakan seminar pajak bertajuk “Siasat Cerdas Agar Bayar Pajak Lebih Murah”, Kamis (19/03/15) lalu. Acara ini diadakan sebagai bentuk kerjasama dengan konsultan pajak ternama di Surabaya, PT. Karunia Mitra Bersatu.
Dwie Ratna Winarsih, selaku pembicara bertutur, selama ini wajib pajak hanya dibebani dengan kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dilakukan atau dibayarkan.
“Jika kita datang ke kantor pajak, selalu yang digembor-gemborkan adalah kewajiban kita, tanpa dikasih tahu hak kita sebagai wajib pajak sebenarnya seperti apa. Karenanya, banyak yang kemudian berpikir pajak itu hanya membebani dan dipersepsikan sebagai biaya” papar bu Dwie.
Selanjutnya, wanita yang sekaligus founder PT. Karunia Mitra Bersatu tersebut juga menjelaskan hak-hak apa saja yang diterima wajib pajak, agar tidak bayar pajak lebih mahal dari yang seharusnya dibayar. Beberapa hal yang perlu dipahami, yang pertama adalah sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem Self-Asesment bagi semua orang yang tinggal dan memiliki penghasilan di Indonesia.
Kedua, tertib administrasi. Dalam artian kesalahan laporan ataupun kesalahan hitung dan juga kesalahan administrasi perpajakan menjadi tanggung jawab wajib pajak masing-masing. Karena itu, sangat diperlukan pemahaman tentang apa saja hak dan kewajiban wajib pajak.
Pemahaman ini merupakan pendukung buat kita untuk dapat menentukan tarif pajak yang paling sesuai dan mudah, menurut kebutuhan bisnis kita. Jika tidak, maka pajak bisa jadi ‘bom waktu’ buat kita.
Coach Ruaniwati, dari BARACoaching Surabaya bertutur, kerjasama ini merupakan bentuk dari pengejawantahan salah satu visi dari ActionCOACH yaitu edukasi.
“Seminar ini bertujuan untuk memberikan update kepada pebisnis tentang aturan-aturan baru, strategi melakukan perencanaan pajak, serta memberikan informasi yang benar tentang pajak untuk para pebisnis. Sesuai dengan visi ActionCOACH, kami berharap acara ini bisa memberikan edukasi kepada para pebisnis untuk bisa mengatur atau memanage usahanya terutama berkaitan dengan perpajakan.”  

Senin, 23 Maret 2015

BAGAIMANA MENJEMBATANI KELUARGA VS BISNIS?

Meskipun tidak sedikit bisnis keluarga yang berkembang besar dan lintas generasi, namun bukan fakta baru, jika bisnis keluarga punya masalah cukup kompleks. Itu kenapa hanya 1% yang bisa bertahan hingga generasi ke-4. Sebenarnya apa bisnis keluarga itu? Dan mengapa begitu rumit permasalahannya?
Hal ini dikupas dalam seminar bertajuk “Membangun Bisnis Keluarga yang Sukses dan Bahagia”, Kamis (12/03/15) lalu. Bertempat di Office BARACoaching Surabaya (ActionCOACH East Java-Bali), acara ini menghadirkan Coach Suwito Sumargo selaku pembicara.
Dalam seminar yang khusus ditujukan untuk pemilik bisnis itu, Coach Suwito memaparkan, topik tentang keluarga dan bisnis sering tidak sejalan, karena tujuan dasar keduanya memang berbeda.
Family is about unconditional love. Sedangkan di sisi lain business is about profit. Kedua hal ini yang sering tidak sejalan dan menimbulkan konflik,” tutur the Winner Supportive Coach dalam BEF Award Indonesia 2014 ini.
Para peserta juga memberikan alasan mengapa pengelolaan bisnis keluarga begitu rumit. Ada yang mengemukakan, perbedaan generasi dan pemikiran yang menyebabkan hal itu terjadi. Ditambah dengan sistem pembagian ‘keuntungan’ yang sulit, sehingga generasi kedua dan seterusnya harus terus mengembangkan usaha, bila ingin mendapat hasil yang lebih besar.
Lalu bagaimana mengatasi perbedaan dan masalah dalam bisnis keluarga? Yang pertama adalah dengan komunikasi. Komunikasi yang baik merupakan kunci untuk membentuk sebuah bisnis keluarga yang sehat. Salah satu caranya bisa dengan mengadakan pertemuan keluarga (anggota yang terlibat dalam bisnis) secara reguler.
Selanjutnya dengan membangun sisi financial yang kokoh. Penting untuk mengetahui sumber keuangan dan merencanakannya dengan baik (budget and planning). Jika satu waktu kita harus berhutang, maka pertimbangkan dulu: untuk apa uangnya, dan berapa penghasilan yang diperoleh agar bisa membayar kembali hutang tersebut.
Ketiga, menemukan sekaligus mempersiapkan generasi penerus dalam bisnis keluarga. Ini merupakan salah satu tahapan yang krusial. Tentu saja krusial, karena tumbuh kembang, bahkan ‘mati-hidup’nya perusahaan keluarga bergantung kepada siapa yang menjadi pemimpin.
“Banyak hal dipertimbangkan dalam memilih future leader. Namun yang sering terjadi, generasi penerus dalam bisnis keluarga ‘dipaksa’ menjadi pemimpin, tanpa melihat dia sudah siap atau belum. Hal ini yang disebut nepotisme dan menyebabkan masalah dalam perusahaan,” papar pelatih bisnis sekaligus pemilik GBT Laras-Imbang ini.
Selain masalah kesiapan, seorang penerus (owner) juga dituntut bisa jadi good leader sekaligus good manajer.
Selain ketiga hal di atas, juga disebutkan poin governance. Poin ini bukan hanya bagaimana membuat aturan main, tapi juga memahami dan mendokumentasikan peraturan perusahaan.
“Dan lagi, butuh disiplin, komitmen dan ketahanan dalam menjalankannya,” tegas Coach Suwito.

KARYAWAN SAYA NGGAK BERKUALITAS? - By: Coach Suwito Sumargo

“Saya kesulitan mendapatkan karyawan yang berkualitas. Karyawan saya ini selalu merepotkan. Mereka berulang kali bertanya dan tidak mau memutuskan sendiri.” Demikian sekilas perbincangan saya dengan seorang pemilik toko.
Saya berkunjung ini atas permintaan Pak Danny (pemilik toko). Sambil berbincang-bincang, bola mata Pak Danny 'berkeliaran' mengamati seluruh penjuru toko. Berkali-kali beliau minta maaf kepada saya, karena beliau harus segera 'mencegat' karyawan dan memberi serangkaian perintah. Ini untuk mencegah agar karyawannya tidak melakukan kesalahan.
Setengah jam kemudian, kesibukan toko pun mereda. Kami bisa berbincang lebih santai. Sambil menghela nafas, beliau berkata, “Ya seperti inilah kesibukan saya, setiap hari. Karena itu, saya tidak mungkin meninggalkan toko ini dan menghadiri seminar. Sebenarnya saya sangat ingin memiliki karyawan yang nggenah dan bisa dipercaya.”
Kejadian seperti ini sangat sering saya temui, ketika saya makan di depot atau belanja di sebuah toko kelontong atau membeli sesuatu di toko bangunan. Dan setiap pemilik usaha melakukan hal yang serupa dengan cerita diatas. Keluhan baru terasa ketika kegiatan usaha mulai tumbuh dan berkembang, ketika pembeli/pelanggan mulai banyak. Dan ketika keluhan makin sering muncul, punya usaha tidak lagi menyenangkan. Malah menjadi beban.
Bagaimana membebaskan kita dari beban ini?
Pertama, pikirkan satu bagian pekerjaan, yang PASTI bisa dikerjakan oleh karyawan-karyawan kita, dengan sempurna. Cukup satu bagian saja, bukan seluruh proses. Kemudian, coba latihkan ke karyawan-karyawan itu dan amati siapa yang menunjukkan tanda-tanda akan bisa melakukannya dengan baik.
Lalu, bagaimana bila karyawan-karyawan itu enggan mengikutinya?
Saya biasanya meminta klien untuk menceritakan ke karyawan-karyawannya, sebuah cerita tentang masa depan perusahaan dan bagaimana peluang karyawan-karyawan itu untuk maju dan sukses bersama. Ini bukan cerita tentang visi-misi yang nggombal, melainkan sebuah cerita atau cita-cita yang disampaikan dengan sepenuh hati, tulus dan jujur. Cerita yang disampaikan dengan penuh semangat. Dan...ternyata tidak banyak pemilik usaha yang mampu melakukannya dengan baik.
Tapi, bila si pemilik usaha berhasil meyakinkan karyawan-karyawannya, maka mereka akan berusaha sebaik-baiknya. Bahkan, tak jarang terjadi kompetisi diantara mereka. Dengan demikian, setiap karyawan itu akan berusaha menunjukkan yang terbaik.
Apa yang kita pelajari dari artikel saya kali ini?
1.    Kuasailah urut-urutan pekerjaan, lakukan pemenggalan-pemenggalan, agar setiap penggalan bisa dilakukan dengan baik.
2.    Menyemangati karyawan dengan menceritakan masa depan perusahaan dan bagaimana mencapainya. Bila kita berhasil melakukannya, maka kita mengajak karyawan-karyawan kita untuk memahami dan melaksanakan visi-misi.
Anda akan belajar lebih banyak, bila Anda menghubungi kami...

Salam The NEXT Level!

Kamis, 19 Maret 2015

KAPAN BUKA CABANG? - By: Coach Ruaniwati

Kapankah waktunya kita membuka cabang? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Anda, mungkin jawabannya bisa bermacam-macam. Misal, jika saya sudah punya orang yang tepat atau jika modalnya sudah cukup, dan alasan lainnya. Bagaimana menjawab pertanyaan ini?
Mari kita telaah dengan benar dan ijinkan saya menanyakan, apakah sebenarnya yang Anda inginkan terjadi di bisnis Anda dalam 3 sampai 5 tahun ke depan?  Apakah jawabannya salah satu di bawah ini?
“Oh, saya ingin sales saya naik, saya ingin lebih profit atau saya ingin perusahaan saya lebih dikenal”. Jika jawabannya salah satu dari itu, apakah selama ini cara Anda berbisnis tidak bisa lebih dioptimalkan, sehingga harus membuka cabang baru?
Membuka cabang adalah salah satu cara untuk menaikkan omzet, menaikkan profit dan membuat usaha Anda lebih dikenal, apakah hanya itu saja?
Tentu saja ada banyak cara lainnya untuk meningkatkan hal-hal itu dan tidak harus membuka cabang untuk mencapainya. Membuka cabang juga mengandung resiko-resiko yang harus kita tanggung. Karena itu kita perlu realistis memperhitungkan dan menganalisa dengan baik.
Selain itu, membuka cabang juga harus disesuaikan dengan rencana jangka panjang bisnis Anda. Paling baik jika keputusan yang kita ambil sejalan dengan sasaran jangka panjang. Jika tidak, maka membuka cabang akan menimbulkan masalah atau beban baru.
Jika semua resiko yang mungkin muncul telah diperhitungkan dan mengambil keputusan untuk membuka cabang, apakah yang harus dilakukan? Buatlah perencanaan yang jelas, yang dapat diikuti oleh tim yang terlibat dan didiskusikan dengan mereka. Membuat perencanaan sebenarnya lebih mudah daripada melaksanakannya, mengapa demikian?
Melaksanakan rencana bisnis kita, memerlukan fokus dan konsistensi, bukan hanya dalam hal pembukaan cabang tapi juga di semua area bisnis. Tingkat keberhasilan yang baik ditentukan oleh seberapa baik kita sebagai pebisnis dan tim yang terlibat konsisten.
Bagaimana dengan Anda, apakah ini waktu yang tepat untuk membuka cabang? Ingin tahu lebih banyak?  Silakan emailkan pendapat Anda ke ruaniwati@baracoaching.com.

Salam the NEXT Level!

Kamis, 12 Maret 2015

JANGAN JUAL SAMBALNYA, TAPI JUAL LAUKNYA! - By: Coach Humphrey Rusli

Di budaya kita Indonesia, terutama di tanah Jawa, makan nasi dengan condiment atau pelengkap semacam sambal sangatlah umum. Bahkan buat sebagian orang, makan belum terasa nikmat jika belum ada sambal.
Sambal sebenarnya bukan merupakan lauk utama, namun mengapa sering dicari? Bagi penggemarnya, sambal ini adalah penambah selera, mungkin bila tanpa sambal makanan lezat hanya akan disantap sebanyak 1 porsi saja. Namun bila dibumbui sambal (yang pedasnya menggigit) mungkin bisa 1,5 bahkan 2x porsi biasa. Jadi kesimpulannya sebenarnya mana yang lebih penting, lauknya atau sambalnya?
Tentu jawaban (pada umumnya) adalah: Yang penting adalah lauknya. Namun benarkah demikian?
Jika kita beruntung bisa menikmati sajian/lauk yang nikmat, mungkin kita tidak terlalu butuh sambal untuk membantu menyantap habis nasi beserta lauk tersebut. Namun bagaimana bila lauknya tidak sedap atau kurang sesuai selera kita? Sudah barang tentu kita ‘terpaksa’ harus menambahkan sambal sebanyak-banyaknya agar bisa mengkamuflase rasa lauk yang kurang sedap dengan pedasnya sambal tersebut. Bukankah demikian?
Atau sebaliknya, bagi yang mengaku doyan berat sambal, mungkinkah mereka membeli makanan yang isinya hanya nasi putih dan sambal saja, tanpa lauk apapun? Tentu tidak bukan? Susah saya membayangkan hal itu terjadi, betapapun gemar mereka akan sambal, mereka tetap membutuhkan lauk yang juga sama nikmatnya bukan?

Lalu apa Hubungannya Sambal-Lauk ini dengan Bisnis?
Dalam bisnis, hukum sambal-lauk ini juga sangat berlaku. Sambal di dalam bisnis adalah ‘discount’ yang diberikan oleh penjual ke konsumennya. Sambal (discount) ini sangat menggiurkan dan bahkan sering dijadikan satu-satunya cara untuk menarik perhatian dan merangsang konsumen membeli lebih atau membeli sekarang juga.
Ini sebenarnya sah-sah saja dalam bisnis. Namun harap diingat, bahwa konsumen anda sebenarnya membutuhkan lauknya terlebih dahulu sebelum sambal (discount)nya. Lauk di dunia bisnis adalah keunikan dan perbedaan kualitas, layanan dan sebagainya dibandingkan kompetitor sejenis.

Ingat rumus dari Hukum Sambal-Lauk ini:
1. Tidak ada orang yang hanya membutuhkan sambal (discount) nya semata. Mereka membutuhkan lauknya terlebih dahulu, yaitu keunikan dan perbedaan yang seharusnya menjadi sasaran utama yang dijual oleh produsen/penjual kepada pembeli.
2. Semakin buruk kualitas lauknya (buruk di kualitas atau tidak adanya pembeda yang jelas dibanding kompetitor) semakin pembeli membutuhkan sambal yang extra pedas (discount yang extra besar) untuk menutupi ‘rasa’ yang kurang sedap tersebut.
Ada 10 lauk yang digemari oleh konsumen pada umumnya:
1. Lauk "Quality" atau bahan baku/SDM yang berkualitas dari sebuah produk/ jasa.
2. Lauk "Speed of Service" atau kecepatan pelayanan yang signifikan dibandingkan kompetitor.
3. Lauk "Customer Service" atau pelayanan prima ke pelanggan.
4. Lauk "Reliability" atau bisa diandalkan.
5. Lauk "Consistency" atau kemampuan supplier untuk menjamin kesamaan service atau quality secara kontinue dan terus-menerus.
6. Lauk "Safety" atau keamanan.
7. Lauk "Back Up Service" atau pelayanan yang terpadu dan mudah diakses oleh pelanggan.
8. Lauk "Convenience" atau nyaman dan dilayani dengan sangat baik, cepat, serta tepat sasaran.
9. Lauk "Image" atau kebanggaan yang timbul pada konsumen ketika membeli produk/jasa itu.
10. Lauk "Guarantee" atau ketenangan pembeli karena sebagian besar resiko ditanggung oleh produsen/penjual.
Nah, kesimpulannya: juallah ‘lauk’nya dahulu sebelum memberikan ‘sambal’nya, niscaya konsumen anda akan semakin bergairah dan setia kapada anda.

Salam The Next Level

Humphrey Rusli

Kamis, 05 Maret 2015

Membangun Karir atau Membangun Aset? - Coach Humphrey Rusli

Membangun karir atau aset? Pertanyaan ini terkesan sangat simple dan bisa dijawab langsung oleh pemilik bisnis keluarga. Namun sebenarnya justru ini adalah pertanyaan kunci yang bisa membantu pemilik bisnis keluarga melanggengkan usaha mereka sampai lintas generasi. Sayangnya, pertanyaan ini jarang ditanyakan sehingga menimbulkan keruwetan yang sejatinya tidak perlu diributkan. Kok bisa? Mari kita telaah.
Bisnis keluarga pada umumnya beranggotakan para keluarga dekat, yang sama-sama menggeluti satu bidang usaha. Umumnya generasi yang lebih tua bermaksud meneruskan aset ini ke garis semendanya, yaitu garis keturunan langsung dari kakek ke anak, lalu ke cucu, dan seterusnya.
Biasanya juga yang generasi lebih muda mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi, baik di dalam atau luar negeri. Sepulangnya dari atau setamatnya masa sekolah anak, pilihan yang jelas pada umumnya adalah langsung ditarik untuk membantu bisnis keluarga.
Nah, di sini mulai muncul kerancuan yang kalau dibiarkan akan menjadi sumber pertengkaran tiada berkesudahan dan tidak jarang berakhir ke perpecahan keluarga itu dalam menjalankan usaha. Pertanyaan yang sering muncul di benak generasi yang lebih muda adalah: Saya direkrut untuk membangun karir saya di bisnis keluarga ini atau untuk membantu generasi sebelumnya membangun aset? Apa perbedaannya?
Membangun Karir: Ini adalah bentuk pengembangan diri atau self actualization dari seorang eksekutif. Untuk membangun karir ada syarat-syarat yang wajib ada, job desc yang jelas, penghasilan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan prestasi kerja, kejelasan wewenang, dan adanya reward and punishment yang jelas.
Jadi kalau si anak memiliki pendidikan S2 di bidang bisnis dan kemudian diposisikan sebagai sopir atau yang mengurus para sopir angkutan, sudah barang tentu ini merupakan career suicide bagi si anak itu. Tujuan utama dari membangun karir adalah penciptaan rekam jejak prestasi yang baik (sesuai minat dan bakat) dan mengumpulkan pendapatan sebesar-besarnya. Gengsi juga berperan besar dalam membangun karir.
Membangun Aset: Pemahaman membangun aset 180 derajat berseberangan dari membangun karir. Membangun bisnis (baca: aset) tidak membutuhkan kejelasan job desc yang absolut di awalnya bagi para anggota keluarga yang terlibat. Nantinya pasti harus ada kejelasan job desc, tapi ketika seorang anggota keluarga baru bergabung, tidak diperlukan kejelasan ini.
Mengapa? Karena membangun aset bertujuan untuk menciptakan passive income dengan seefektif dan seefisien mungkin. Jadi kalau lulusan S2 tersebut diatas ternyata cakap mengurus sopir-sopir dan sopir-sopir pun segan dan patuh terhadap anak tersebut, maka posisi dia boleh dikatakan lebih leverage (berdaya ungkit) dalam asset building sebagai pengurus sopir, walaupun latar belakangnya adalah Master di Bisnis.
Membangun aset juga tidak terlalu memperhatikan peningkatan pendapatan ataupun peningkatan jabatan bagi anggota keluarganya, karena yang menjadi nomor satu bukan pendapatan per bulannya, namun apakah mesin penghasil uang mereka bisa terus-menerus menghasilkan uang dalam jangka panjang atau tidak. Sifat paling dasar dari aset adalah bisa diwariskan, sedangkan karir tidak bisa diteruskan ke generasi penerusnya.
Nah, sayangnya jarang sekali topik diatas ini dibahas oleh generasi yang senior bersama-sama dengan generasi muda. Kesalahpahaman akan hal ini sungguh sering terjadi di bisnis-bisnis keluarga yang kami bantu.
Si anak merasa gaji kurang dan tidak bisa kelihatan bergengsi, sedangkan si ayah merasa si anak kurang ulet dan suka pilih-pilih dalam menjalankan suatu pekerjaan. Si anak merasa tidak jelas (dan tidak berani bertanya) tentang apakah dia akan diwarisi aset usaha ini atau hanya sekedar ‘membantu’ dan mendapatkan gaji.
Sedang si ayah merasa sudah pasti akan mewariskan usaha ini ke anak, dan tidak perlu dibahas terlalu detail di awal. Masalah ini bisa lebih rumit lagi kalau sudah ada beberapa anak, sepupu, menantu yang bergabung di satu usaha yang sama.
Bagaimana solusinya? Bicarakan dan putuskan dengan jelas antara generasi senior dan generasi junior, apakah para junior direkrut untuk membantu membangun aset (yang nantinya akan diwariskan ke mereka) atau mereka direkrut untuk membangun karir di usaha orang tuanya (yang nantinya bisa dipakai untuk membangun karir di perusahaan orang lain yang lebih tinggi kelasnya)?
Semoga Berguna!
Humphrey