business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Senin, 11 Desember 2017

DINOSAURUS - By: Coach Suwito Sumargo*

Gimana caranya menangani Dinosaurus?
Dinosaurus?
Iya, dinosaurus itu julukan buat karyawan lama yang mentok.”
Mentok?
Iya Coach, mentok itu ndak bisa diajari hal-hal baru. Mereka ini kan karyawan peninggalan.
Peninggalan?
Wah...Coach heran ya dengan istilah-istilah kami. Mereka ini karyawan-karyawan yang direkrut oleh manajemen lama, dengan kebijakan lama.
Oo...saya pun menganggukkan kepala tanda mengerti.
Anda mungkin pernah mengalami hal yang serupa. Terutama ketika arah bisnis utama kita berubah, maka mungkin sekali terjadi hal seperti di atas.
Contoh, sebuah usaha cuci-cetak foto yang pernah jaya di masa lalu, harus banting setir menjadi cetak digital. Peralatan produksinya ganti, sesuai dengan perubahan teknologi. Begitu juga karyawan-karyawan intinya. Kompetensi yang dibutuhkan berbeda. 
Perubahan mendadak tentu akan memakan korban. Karyawan yang termasuk “dinosaurus” dan tidak bisa mengikuti perubahan, terpaksa harus resign.
Apakah hal seperti ini bisa kita hindari? Tentu saja bisa. Sebenarnya fenomena “dinosaurus” tidak akan terjadi jika sebelumnya kita melakukan tindakan pencegahan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan training secara reguler. Pelatihan rutin yang disesuaikan dengan perubahan jaman, bukan hanya akan mendevelop karyawan kita. Lebih jauh, akan menjadikan bisnis kita bertahan dalam segala ‘cuaca’ termasuk perubahan teknologi.
Lalu bagaimana jika sudah terlambat? Bagaimana jika core business sudah terlanjur berubah. Apakah kita masih bisa memanfaatkan karyawan-karyawan lama?
Menurut saya, tidak ada salahnya memberikan kesempatan kedua pada mereka. Misal dengan explore atau menggali bakat dan kemampuan mereka di bidang lain. Atau peluang untuk belajar dan mendalami kembali kemampuan yang sudah dimiliki sebelumnya dan di’upgrade’ menyesuaikan kondisi terkini.
Nah, bagaimana dengan Anda? Apa yang Anda lakukan agar fenomena “dinosaurus” tidak terjadi pada bisnis Anda ke depan? Bagaimana langkah yang dilakukan untuk meminimalisirnya?
Salam The NEXT Level!



* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 13 November 2017

BERBAGI PERAN - By: Coach Suwito Sumargo*

Bila saya bertanya, maukah Anda berbagi peran dengan karyawan Anda?
Kebanyakan jawabannya adalah mau banget. Tapi... masalahnya karyawan saya itu ndak pinter, ndak bisa dipercaya, ndak cermat, ceroboh, seenaknya sendiri, dan lain-lain.
Lalu, sosok seperti apa yang Anda harapkan?
Tentu sosok yang bisa dipercaya, yang pintar, cepat tanggap, cermat dan jujur.
Ini sosok yang istimewa, bukan?
Tidak mudah menemukan sosok (ideal) seperti ini. Maksud saya, sosok seperti ini tidak bisa ditemukan seketika.
Yang sering terjadi, kita tiba-tiba bertemu dengan orang yang pintar atau cepat tanggap. Ya, orang pintar memang lebih gampang ditemukan, apalagi ada banyak tes yang bisa kita pakai untuk 'mengukur' seberapa pintar-nya seseorang.
Ada yang pintar mengolah kata, ada yang pintar mengolah angka dan data. Ada juga yang punya kepintaran dalam hal olah vokal, dan lain-lain.
Menemukan orang cermat lebih sulit lagi. Karena butuh waktu cukup lama untuk membuktikan seberapa cermatnya seseorang.
Dan yang paling sulit ialah menemukan orang yang bisa kita percaya. Lalu, bagaimana kita menyiasatinya?
Saran saya, berikan ke kandidat kita, pekerjaan-pekerjaan produktif, yang hanya mengandalkan ketrampilan saja. Ini level pertama. Kandidat harus mampu membuktikan bahwa dirinya bisa bekerja dengan baik dan cukup menghasilkan (produktif).
Di level berikutnya, kita berikan dia kesempatan untuk meningkatkan produktifitasnya. Artinya, dia harus bisa bekerja lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak. Amatilah, seberapa lama si kandidat ini mampu mencapai level yang lebih produktif ini.
Saat dia berusaha meningkatkan produktifitasnya, amatilah sikapnya. Apakah dia bekerja sambil mengeluh atau tetap gigih? Disinilah kita bisa melihat sisi attitude-nya. Sisi yang akan membuat kita bisa mempercayai seseorang.
Memang butuh waktu untuk mengenali sikap gigih, tekun, tidak mudah bosan dan jujur dari seorang kandidat. Tak heran bukan, bila kita tak mudah menemukan orang yang bisa kita percaya. Apalagi dalam waktu singkat.
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 30 Oktober 2017

PERILAKU “NYAMPAH” - By: Coach Suwito Sumargo*

“Coach, dimana tempat sampahnya?”
“Di situ, di balik pintu. Tinggalkan saja di meja, biar saya yang bersihkan nanti.”
“Ah jangan, Coach. Saya sudah terbiasa untuk tidak meninggalkan sampah.”
Itu percakapan singkat saya di akhir sesi coaching. Dia seorang staf dari client, yang diminta mengikuti sesi coaching khusus. Ehm, yang seperti ini jarang saya temui diantara sekian banyak orang, termasuk client dan tamu.
Sebaliknya, perilaku “nyampah” (meninggalkan sampah begitu saja) sepertinya sudah jadi hal yang biasa dilakukan dimana-mana.  Di pesawat, kereta api, minibus travel, di taxi atau di bandara dan stasiun.
Saya pun menyampaikan pujian pada staf tersebut, ”Anda hebat, bisa mempertahankan kebiasaan itu.”
Tidak “nyampah” menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Dan itu tidak mudah dibentuk dalam waktu singkat, lho. Sebagai pemilik bisnis, kebiasaan-kebiasaan ‘kecil’ positif  seperti ini perlu kita ketahui, perhatikan, bahkan mengapresiasi. Karena semestinya ada di diri karyawan kita.
Tapi sebenarnya bukan itu yang kita cari. Yang kita butuhkan adalah keteguhan untuk bertahan dan tetap melakukan kebiasaan baik. Ini menunjukkan disiplin dan kemampuan mengendalikan sikap.
Apakah kita sudah memperhatikan kebiasaan-kebiasaan ‘kecil’ karyawan kita?  Berapa banyak karyawan kita yang berperilaku baik?
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.
- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 16 Oktober 2017

KADERISASI - By: Coach Suwito Sumargo*

Karena pak M (manager) akan pensiun, maka atas permintaan Owner, staf S sebagai yang paling senior di divisi tersebut, dipersiapkan sebagai kader pengganti pak M.
Suatu hari, pak Owner menyampaikan kepada saya :
"Mengkader itu ternyata sulit ya, Coach?
"Oh ya?" tanya saya dengan nada heran.
"Ini buktinya, manager saya tidak bisa mengkader anak buahnya."
Setelah omong-omong, saya akhirnya tahu, apa yang dilakukan si manager. Ternyata si manager hanya mengajarkan tugas-tugasnya saja. Hanya 'mengalihkan' job desc manager ke stafnya.
Si manager tidak meng-identifikasi skill gap yang muncul bila nantinya si staf berperan sebagai manager. Selain itu, si manager juga tidak mengenali dulu, bagaimana leadership si staf. Apakah lemah, ataukah mampu bila harus memimpin teman-teman sejawatnya.
Di akhir sesi coaching, sang Owner akhirnya menyadari, kaderisasi sebenarnya tidak sulit. Memang masuk akal, bila staf yang paling mumpuni dan senior dipersiapkan untuk menjadi pengganti. Tapi, jangan lupa membekali dengan latihan untuk pembentukan leadership. Karena seorang manager tidak hanya me-manage, tapi sekali waktu juga harus berperan sebagai leader.
Leader bukan cuma sekedar membagi-bagi tugas. Leader juga perlu mengenali karakter anak buah. Leader butuh kharisma. Leader harus mampu menginspirasi, menggerakkan atau memotivasi.
Apakah Anda mengenali karyawan-karyawan yang berpotensi jadi leader
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 02 Oktober 2017

PROPERTY AND EKSPANSI - By: Coach Suwito Sumargo*

Yang dimaksud property umumnya adalah tanah, ruko, gudang, apartment atau rumah tinggal.
Satu hari ada seorang client bertanya tentang beli property pada saya.
“Coach, apakah (saat ini) saya boleh beli property. Apakah sekarang saat yang tepat untuk beli property?”
Saya hanya mengumbar senyum dan menjanjikan akan membahas topik tersebut di sesi berikutnya.
Ada macam-macam alasan saat kita membeli property. Yang paling popular, sebagai tabungan atau simpanan. Dan alasan lain yang menarik adalah kepemilikan property itu bisa dicicil.
Nah, alasan yang satu ini bisa membuat orang ngotot menyisihkan uang (buat membayar cicilan).
Mengacu pada A-S-P-C (Asset, Sales, Profit, Cash), maka setiap orang yang ingin mencicil property, harus melihat nett cash nya. Bila tiap akhir bulan tersedia nett cash yang setara dengan laba bersih, maka bolehlah dia mencicil sebesar nett cash nya tadi. Itupun dengan catatan, masih ada harta bersih (harta bersih adalah keseluruhan harta, termasuk modal lancar ditambah piutang dan dikurangi hutang).
Maksud saya, perputaran dana atau modal untuk usaha harus diutamakan. Sisanya (nett cash) baru boleh dipakai untuk belanja/ mencicil property.
Bila property itu untuk kepentingan perluasan usaha, maka seluruh beban keuangan yang timbul haruslah diperhitungkan sebagai biaya. Pembelian property untuk pengembangan usaha berarti menambah modal usaha.
Jadi, utamakanlah kebutuhan dana untuk kelancaran usaha kita. Jangan memaksakan diri untuk membeli property, selama bisnis kita belum mantap dan sehat.
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 18 September 2017

RESPON - By: Coach Suwito Sumargo*

Anda mungkin sudah jarang naik travel. Tapi mudah-mudahan masih bisa menangkap makna cerita saya berikut ini. 
“Pak (sopir), bisa berhenti di toilet?“, begitu suara penumpang di bangku paling belakang. 
Karena nggak ada balasan, penumpang di deretan tengah mempertegas: “Pak, ini ada yang mau ke toilet”. 
Pak Sopir pun menjawab lirih: “Waduh”.
Lalu sedetik kemudian menjawab lebih keras: “Nanti kalau ada pom bensin yaa”. 
Saat itu, saya bisa merasakan betapa penumpang di belakang tadi sangat butuh untuk segera ke toilet. Dan di sisi lain, saya juga merasakan kejengkelan pak sopir, karena perhatiannya jadi terpecah, antara harus segera mencari pom bensin (SPBU) terdekat dengan fokus jalan. Padahal jalanan sedang padat, cenderung macet. 
Meskipun begitu, tidak seharusnya pak sopir memberikan respon seperti di atas. Karena tak bisa dipungkiri, kesannya lebih terdengar menggerutu dan kurang berempati.
Saya pun langsung berangan-angan, bagaimana mengajari para front liner agar bisa memberi respon yang tepat pada kejadian seperti ini? Dan bagaimana para owner dan supervisor aware tentang hal semacam ini? 
Di bisnis apapun, customer butuh respon segera dan penuh perhatian. Bukan hanya saat menangani claim atau complaint, tapi sejak calon customer mendatangi gerai. Responnya bisa dalam bentuk: segera menyapa dengan sopan atau memberikan perhatian. 
Bisnis hospitality, seperti hotel dan restoran sangat mengedepankan hal ini. Juga bisnis lain di bidang jasa, seperti salon kecantikan, spa, bengkel, dan lain-lain. Apalagi bila produknya tak punya keunggulan atau brand-nya belum bisa diunggulkan. Maka kualitas pelayanan menjadi tolok ukur pertama. 
Pada kasus di atas, salah satu solusi yang bisa diberikan adalah dengan mengandalkan kecanggihan teknologi yang semakin pesat. Pak sopir bisa mengintip gadget-nya, dan segera tahu seberapa jauh SPBU terdekat. Dengan aplikasi pada gadget, sopir juga bisa tahu jalan mana saja yang macet dan tidak, sehingga bisa mengambil jalan alternatif yang cepat untuk menuju SPBU.  
Setelah itu dia bisa menginformasikan, seberapa lama penumpang masih harus menahan ‘kebutuhan khusus’nya. Meski hanya sekedar menginformasikan, penumpang akan merasa lega, karena diberi perhatian. 
Semoga kita tidak lupa mengajari para front liner untuk berempati kepada calon customer agar kita tidak sampai disibukkan pada complaint customer. 
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 04 September 2017

BISNIS TIDAK BISA BERJALAN TANPA PEMILIKNYA? - By: Coach Suwito Sumargo*

Setelah menjalani coaching beberapa waktu, ternyata masih ada client yang berpendapat bahwa bisnis itu tidak bisa berjalan tanpa owner-nya (without me). 
Mereka bukannya tidak percaya, tapi masih terlalu sibuk dengan 4 step pertama dari 6 step. Yaitu, mereka masih berkutat di tingkat Mastery, Niche, Leverage dan Team
Di tingkat Mastery, mereka merasa operasional bisnisnya masih kacau balau, tidak teratur. Anak buahnya tidak disiplin, masih sering seenaknya sendiri. Atau karyawan absen tanpa memberi tahu, sehingga pekerjaan terbengkalai. Mereka tidak bertanggung jawab. 
Ada lagi keluhan, tagihan yang molor sehingga keuangan perusahaan terganggu. Terpaksa menambah hutang agar tetap bisa bayar supplier tepat waktu. Lalu, tetap saja tidak punya laporan keuangan yang akurat atau valid. Pekerjaan admin yang tidak rapi, sehingga terpaksa si boss harus mengerjakan ulang. 
Masih banyak lagi keluhan yang saya temui. Pada dasarnya, para Boss ini ingin serba instant. Begitu ikut coaching, maka 'otomatis' bisa without me. Mereka tidak cukup sabar membangun Business Mastery, yang merupakan pondasi bisnis. 
Hal lain yang mencolok adalah Leadership. Sebagai owner, memang seorang Boss bisa memerintahkan apa saja. Dan ini mungkin mengarah pada kepemimpinan absolut, sehingga team-work bakal tidak terbentuk. Segala hal dipikir dan diputuskan sendiri oleh Boss. Bawahan hanya sebagai pelaksana. Maka nasib perusahaan pun makin tergantung pada sang Boss. 
Coaching adalah kesempatan untuk merapikan dan memperkokoh pondasi perusahaan. Keteraturan adalah urusan bersama. Karyawan belajar disiplin secara sadar. Bukan karena disuruh disiplin. Hanya tim yang se-visi dan paham misi bersama saja yang bisa bekerja sama dalam mencapai goal. 
Kalau setelah coaching hanya Boss-nya saja yang semakin pintar, ini bukanlah sasaran yang ingin dicapai melalui coaching
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 21 Agustus 2017

SESUAI JOB DESC DAN CUEK? - By: Coach Suwito Sumargo*

Ini jam 8.10, saya sudah berada di pool sebuah travel. Saya diberitahu agar stand by antara jam 8.15 - 8.30. Lho, bukannya ini travel yang jam 9.00.
“Ya pak, untuk keberangkatan jam sembilan akan diberangkatkan lebih awal karena harus mampir di pool lain. Dan ini pool pertama”. Demikian penjelasan via sms, saat memesan kemarin. 
Sambil menunggu, saya mengamati tingkah laku dua orang staf di depan saya. Wanita yang satu, sibuk melayani antrian. Begitu ada seorang pelanggan ingin mengubah jadwal, maka antrian langsung mengekor. Tampaknya, prosedur perubahan jadwal tidak mudah dilaksanakan oleh si staf wanita tadi. Sehingga dia harus berkomunikasi via HP, minta arahan dari kantor pusat. Itu butuh lebih dari 5 menit. 
Staf wanita yang lainnya tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Dia sedang menulis di sebuah buku besar dan menghitung uang. Cuek dengan kejadian di sebelahnya. Tak lama kemudian, masuk seorang staf wanita lain, langsung duduk di balik meja paling ujung. Dia pun hanya memandangi 2 rekannya tadi. 
Tak lama kemudian, staf yang sibuk menulis itu tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya, dan langsung membantu menangani antrian. Ternyata orang-orang yang antri itu ingin membeli tiket atau memesan tempat. Sejak saya masuk sampai saat ini, waktunya sekitar 10 menit. Dan selama itu, telpon berdering tanpa ada yang mengangkat. Bahkan ketika seorang pria masuk dan mengumumkan saatnya berangkat, tak seorangpun mengangkat telpon! Oo..pantesan sejak kemarin saya nggak bisa menelpon dan terpaksa berkomunikasi dengan kantor pusat. 
Ini mungkin terjadi di perusahaan kita. Terutama saat kita punya cabang atau outlet kecil dengan jumlah staf terbatas. Saya yakin, setiap orang di depan saya tadi, adalah orang-orang yang mampu mengerjakan sesuatu (termasuk seorang staf wanita, yang sampai saat saya berangkat, hanya melayani 1 kiriman paket saja), sesuai dengan job desc-nya.
Tapi ini konyol. Telepon berdering terus menerus itu mungkin dari orang-orang yang akan membeli tiket. Dan kita mungkin kehilangan peluang.
Dalam bisnis, melayani pelanggan memang tugas paling utama. Tapi, mengabaikan peluang adalah pantangan. Mengapa si staf wanita penerima paket itu tak dilatih untuk mengangkat telepon? Mengapa kedua staf wanita yang sibuk itu tidak memanggil si pria yang mengumumkan keberangkatan tadi untuk mengangkat telepon?
Apakah di perusahaan kita terjadi hal serupa?  
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 07 Agustus 2017

KESALAHAN KARYAWAN? - By: Coach Suwito Sumargo*

“Coach, gimana ya cara mendisiplinkan karyawan?” 
“Apa dulu kasusnya?” 
“Gini...ini biasanya terjadi setelah meeting bulanan. Manager saya, yang mestinya setelah melakukan follow up, dia wajib melaporkan proses dan hasilnya. Tapi dia tidak melaporkan, sampai saya tanyai dia. Saya pinginnya sih, karyawan-lah yang otomatis melaporkan perkembangannya. Gimana, Coach kalau seperti ini?” 
Kejadian seperti ini, sudah sering saya dengar. Mari kita cari solusinya. 
Karyawan tidak otomatis melaporkan, karena dia tidak/belum merasa punya kepentingan dengan 'urusan' itu. ‘Sebodoh’ amat...mereka cuek saja, karena beranggapan si Boss-lah yang butuh. 
Kalau seperti ini, maka kita harus berusaha mengubah pola meeting-nya. Jangan hanya one-way, tapi lebih interaktif dan karyawan diberi kesempatan menyampaikan pendapat. Lalu, mereka diminta komitmennya untuk menjalankan. 
Bila mereka bisa menjalankan dengan baik, maka kita hargai upayanya. Ini akan merangsang mereka untuk menjalankannya terus-menerus sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. Kita tak perlu lagi menagih laporan. 
Memupuk kebiasaan ini tentu tidak mudah. Itu sebabnya, kita seringkali mencari karakter orang yang disiplin. Yang sudah punya kebiasaan, atau yang mungkin sudah terbiasa/ dibiasakan disiplin di tempat kerja sebelumnya.
Disiplin itu umumnya hasil dari bentukan, entah karena tradisi keluarga, atau lingkungan. 
Bila kita ingin karyawan kita disiplin, sebaiknya dimulai dari diri kita. Dan kita harus berusaha menularkannya hingga lingkungan di sekitar kita punya kebiasaan disiplin. 
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.