Begitu
keluar dari bandara, saya langsung menuju taxi favorit saya. Setelah duduk, saya
sebutkan nama sebuah hotel yang menjadi tujuan. Sembari menyodorkan
selembar lima puluh ribuan, saya berkata: “Bapak tahu tempatnya kan?”
Si
driver
menjawab: “Ya pak,
saya tahu tempatnya. Bapak ingin lewat tol saja, bukan?”
“Ya,” saya menjawab pendek dan langsung sibuk
dengan gadget saya.
Beberapa
menit kemudian, saya menegur si driver:
“ Bapak bisa lebih cepat?”
Jawab
si driver, “Bisa Pak, tapi kecepatan kita
sekarang sudah sesuai dengan batas kecepatan maksimal di tol.”
Saya
baru menyadari, ternyata kita sudah cukup cepat. Dan ada satu fakta menarik, ternyata driver
ini patuh pada aturan (lalu lintas) di jalan tol. Saya pun akhirnya
berbincang-bincang dengan si driver.
“Tuh,
mobil-mobil lain pada ngebut,”
kata saya.
“Maaf
Pak, saya hanya
diijinkan mengendarai sebatas (kecepatan) ini saja” jawabnya dengan sopan.
“Kan
ndak ada yang tahu, bila bapak
ngebut?” kata saya lagi.
Sambil
ketawa ringan dia menjawab: “hehehee…Tuhan tahu lho, Pak.”
Perbincangan
kami akhirnya lebih mengarah ke pengalaman pribadinya sebagai seorang driver. Sehingga saya pun
akhirnya tahu, si driver
ini benar-benar seorang
yang patuh pada aturan dan bukan seperti pengemudi pada umumnya yang hanya
(pura-pura) patuh bila ada polisi
saja.
Driver
tadi bercerita, dia punya keyakinan, bila dia tidak memulai sebuah
pelanggaran, maka dia akan terhindar dari kesulitan. Dan dengan mengemudi
sesuai aturan, si driver
merasa lebih tenang dan nyaman. Dengan demikian, dia bisa memberikan yang
terbaik ke penumpang. Luar biasa.
Saya
membayangkan, bagaimana seorang driver
bisa mempunyai sikap seperti itu? Sebuah sikap yang membuat dia bisa bekerja
dengan baik, tanpa perlu diawasi.
Saya
jadi teringat pada cerita klien-klien
saya, yang karyawannya cenderung hanya patuh ketika sedang ditunggui oleh sang
bos. Fenomena ini menggejala dimana-mana, bukan hanya di Indonesia, lho. Kebanyakan karyawan memang hanya bisa
(atau terampil) bekerja saja.
Dan mereka hanya bekerja sesuai perintah. Kebiasaan bekerja sesuai perintah
ini, tidak akan bertahan lama. Selain bosan atau jenuh, karyawan akan cenderung
kembali pada kebiasaan lama yang dia sukai.
Selama ini kita sering lebih
fokus kepada result jangka pendek dan
lupa menanamkan keyakinan (believe)
dan nilai-nilai (values) yang lebih
bertahan dalam jangka
panjang. Keyakinan ini biasanya dimulai dengan rasa senang akan
pekerjaan.
Sebagai
bos (atasan), terlebih dulu kita perlu
menumbuhkan rasa senang mereka dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Rasa senang akan pekerjaan, tentu
tidak muncul secara otomatis.
Salah satu cara untuk merangsang adalah dengan menginduksi
atau mempengaruhi mereka bahwa apa yang mereka kerjakan adalah sesuatu yang
menyenangkan bahkan bermanfaat buat orang lain. Kita bisa memberikan cerita
atau study kasus yang berhubungan, yang secara tidak langsung bisa membuat
mereka ikut merasakan dan berpikir, daripada hanya sekedar teori.
Selanjutnya adalah memberi kesempatan kepada mereka untuk
mengekspresikan nilai-nilai apa yang mereka dapat dari pekerjaan mereka.
Semakin sering kita melakukannya, semakin mengingatkan dan menyadarkan, bahwa
apa yang mereka lakukan tidak seberat dan membosankan seperti yang terlihat
atau mereka alami.
Poin paling penting adalah melakukan kedua poin di atas
secara berulang-ulang. Pengulangan secara terus-menerus akan mengubah sebuah
keterpaksaan menjadi sebuah kebiasaan (yang menyenangkan).
Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda punya problem
yang sama? Apa saja yang Anda lakukan untuk mengatasinya?
Share pengalaman Anda by email ke: suwito@baracoaching.com
0 komentar:
Posting Komentar