business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Senin, 30 Mei 2016

APA BENAR S.O.P DIPERLUKAN? - By: Coach Suwito Sumargo*

Saya sungguh beruntung, punya kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan pengusaha dari berbagai jenis bidang usaha. Jumlahnya sudah mencapai lebih dari seratus pengusaha, kecil maupun besar.
Di awal pertemuan, biasanya saya minta para pengusaha tersebut bercerita tentang angan-angannya. Dan mereka bercerita tentang keinginan memiliki perusahaan besar yang tertata rapi dan semua karyawannya bekerja dengan antusias, bisa dipercaya, dan lain-lain. Tentu saja para pengusaha ini juga ingin mendapat keuntungan besar.
Ada beberapa pengusaha, yang menggambarkan bahwa perusahaan besar itu mesti punya SOP, SISDUR, Job Description, KPI, Sales Target, Administrasi yang tertata rapi, dan lain-lain. Dan diantara sekian banyak pengusaha, ada yang benar-benar percaya bahwa untuk meraih sukses itu harus diawali dengan disiplin mencatat dan membuat laporan.
Pendapat di atas tentu tidak salah, masalahnya : kapan kita harus mulai melakukan semua itu?
Sebuah usaha kecil, yang baru memiliki sebuah truk yang wira-wiri mengangkut material, tentu belum membutuhkan ketersediaan berbagai laporan, SOP, dan lain-lain. Kalau dipaksakan, saya justru khawatir perusahaan itu tidak produktif lagi.
SOP (Standard Operation Procedure), yang biasanya dibayangkan sebagai lembaran-lembaran dokumen, sebenarnya adalah sebuah urutan tindakan yang setiap kali harus dijalankan sama persis.
Contoh sederhana: seorang ibu menanak nasi dengan rice cooker. Urutan kerja yang akan dia lakukan antara lain: membersihkan dan mengeringkan wadah, memasukkan beras yang sudah dibersihkan (dicuci) sesuai takaran dan kebutuhan, menambahkan air (sebaiknya air bersih dan layak minum) secukupnya, mengelap bagian luar wadah untuk memastikan bawah bagian luar wadah dalam keadaan kering, menempatkan wadah yang sudah berisi beras dan air tersebut ke dalam rice cooker, menutup dan menekan tombol cook atau on. Itu sebuah contoh SOP sederhana.
Selain ditulis berurutan seperti di atas, ada cara lain yaitu mem-foto atau merekam (video). Ini tentu lebih mudah dipahami ketimbang tulisan. Ya, memang salah satu kesulitan dalam membuat SOP ialah men-dokumentasikannya.
Tapi, selain men-dokumentasikan, yang terpenting selanjutnya ialah bagaimana mengajarkan SOP tersebut hingga dilaksanakan dengan baik dan tertib.
Banyak pengusaha, sudah mengeluh masalah membuat SOP. Hambatan pertama adalah repot, sulit dan tidak punya waktu.
Tapi, betulkah SOP diperlukan? Jawabnya : YA.
Minimal, kita harus punya SOP untuk hal-hal yang penting, rutin (sering atau berulang-ulang dilakukan), dan membutuhkan ketelitian demi menjaga kwalitas. Ini kata kuncinya : Rutin dan Kwalitas. Bila dua hal ini dianggap penting, maka harus ada SOP.
Ternyata, bahkan di perusahaan besar sekalipun, banyak terjadi pelanggaran SOP. Meskipun sudah ada sistem reward & punishment, tetap saja terjadi penyimpangan. Kenapa demikian?
Dalam banyak kasus, saya menemukan bahwa attitude si pelaksanalah yang tidak menunjang.
Para pelaksana ini sering abai dengan betapa penting menjaga kwalitas. Seringnya karena merasa sudah berulang-ulang melakukannya. Merasa sudah mahir dan mengabaikan alat bantu standar.
Dalam hal menanak nasi di atas, mereka sudah tidak menggunakan alat penakar lagi. Karena perbandingan antara beras dan air tidak sesuai, maka nasi pun menjadi terlalu kering, keras atau sebaliknya terlalu lembek dan basah.
SOP tidak perlu rumit-rumit. Make it simple and fun, agar setiap orang berkeinginan untuk melakukannya dengan benar.
SOP bukan cuma untuk perusahaan besar dan tidak harus berupa dokumen tertulis. Terakhir, SOP itu dilandasi oleh keinginan, impian agar bisa memberikan yang terbaik, selamanya.
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Kamis, 19 Mei 2016

FROM GOOD TO GREAT CEO - By: Coach Humphrey Rusli*

Beberapa waktu lalu saya diminta untuk membawakan suatu Master Mind group bertema: Creating Powerful CEO’s. Group ini dihadiri oleh para pemilik bisnis dari berbagai bidang usaha dan kebanyakan peserta ingin mengetahui apa yang membuat perusahaan, khususnya corporate, menjadi solid dan berkembang besar. Apakah karena kemampuan kognitif CEO semata ataukah ada hal-hal lain.
CEO yang handal tentunya akan membawa perusahaan menuju ke tujuan jangka panjangnya, layaknya sebuah kapal yang tergantung Nahkodanya. Untuk itu kemampuan kognitif memang sangat diperlukan dan tidak bisa diabaikan. Namun ternyata yang membuat perusahaan menjadi berkelas dan mempunyai dampak signifikan ke masyarakat luas adalah perusahaan yang dikomandoi oleh CEO yang ber”karakter” dan mampu memiliki team yang juga ber”karakter”. Apa artinya ini?
Survival mode: Perusahaan baru dimulai dan membutuhkan cash or revenue hari demi hari
Stability Mode: Perusahaan sudah mulai mendapatkan ritme kerja, loyal customers dan mulai tersistemisasi
Success Mode: Perusahaan masuk ke masa keemasannya atau kejayaan dan memiliki goal jangka panjang yang terarah dengan baik. Kelimpahan materi adalah salah satu indikasinya, team yang solid dan aturan main yang teratur dengan baik. Customer loyal yang sebagian besar sudah menjadi raving fans menjadi penopang utama di level ini.
Significance Mode: Nah, di sini perusahaan sudah menjadi fungsi penting dan krusial dalam kehidupan masyarakat dan berdampak luas dan dalam secara sosiologis, ekonomis, maupun cultural.  Di sinilah waktu dimana a GREAT CEO akan lahir.
Karakter adalah kombinasi dari sekumpulan kualitas moral, etika, sifat-sifat dasar, kemampuan, pemikiran dasar (default thinking pattern) dari pribadi per orangan. Karakter akan menyiratkan, mendefinisikan, dan membedakan satu orang dengan yang lainnya dan akan menjadi acuan untuk segala tindakan dalam keseharian mereka. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa karakter yang baik akan menentukan masa depan orang tersebut.
Di dalam dunia korporasi, dan dalam kegiatan bisnis yang penuh tantangan dan tekanan,  seringkali yang membedakan perusahaan yang berdampak (significance) dan kurang berdampak terhadap lingkungan adalah seberapa besar pengembangan dan pengaktualisasian  karakter ini terbentuk. Karakter ini tentunya bukan hanya milik CEO semata namun yang lebih penting adalah karakter top level management secara keseluruhan.
Pengembangan dan aktualisasi karakter dimulai dengan penerimaan dan pengakuan terhadap nilai-nilai di setiap individu para pemimpin di korporasi tersebut. Penguasaan coaching skills memampukan CEO untuk membangun genuine interest terhadap pribadi para eksekutif, dan tidak lagi semata mata menghargai mereka hanya sebagai alat untuk mencapai sasaran perusahaan saja.
Pendekatan coaching akan membuat hubungan menjadi lebih produktif dan para eksekutif mempunyai wadah untuk mendapatkan feedback atas performa kerja mereka selama ini, bukan untuk kepentingan perusahaan semata, namun lebih kepada kepentingan akan pengembangan diri untuk kebaikan mereka sendiri.
Para CEO dengan skill coaching akan mampu untuk membantu para eksekutif mengidentifikasikan  kekuatan dan kelemahan masing-masing pribadi mereka dan untuk kemudian disinergikan dengan aspirasi pribadi dan karir mereka. Dampak coaching ini akan membawa para eksekutif mempunyai inner driving force yang akan terus menerus menarik mereka sedikit demi sedikit menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, mendaki dan menaklukkan tantangan yang lebih besar dari sebelumnya.
Sudah siapkah anda membawa perusahaan dan diri anda sendiri “to be the best you can be”?

* Coach Humphrey Rusli:
-     Pelatih bisnis dengan pengalaman International Marketing selama lebih dari 15 tahun.
-     Pemenang International Coach of The Year 2012 (Australia), 2013 (Beijing) dan 2014 (Indonesia).

- Telah membantu kliennya meraih peningkatan profit dari 20% hingga 2000% melalui sesi-sesi coachingnya.

Senin, 16 Mei 2016

MAMPU DAN MAU - By: Coach Suwito Sumargo*

Coach, gimana ya caranya menentukan karyawan yang tepat untuk menduduki posisi sebagai wakil saya? Sebetulnya saya punya beberapa pilihan.
Yang pertama,  Adi. Orang ini kompetensinya lumayan, tapi tidak mau menerima tanggung jawab yang lebih besar. Yang kedua, Budi. Yang satu ini belum punya cukup keahlian, karena masih baru kerja beberapa bulan. Budi ini direkrut karena orangnya antusias belajar, bahkan cenderung ambisius.
Hal itu ditanyakan seorang teman, yang juga pengusaha, satu siang ketika kami makan bersama. Permasalahan ini bukan pertama kali saya temui. Setidaknya, ada 4 kategori umum yang bisa diamati.
 Kategori pertama ialah orang-orang yang tidak punya cukup kemampuan (kecakapan) dan juga tidak punya kemauan. Ini kategori amit-amit deh, kata teman saya itu sambil menggelengkan kepala. Orang-orang yang termasuk kategori ini amat sulit dikembangkan. Kategori ini tidak perlu kita bahas terlalu jauh. Kecuali Anda mau mengerahkan segala kesabaran dan upaya, karena mereka yang termasuk kategori ini tidak punya kemampuan sekaligus tidak ada motivasi dalam diri.
Kategori kedua, kebalikan dari pertama, yaitu mereka yang mampu dan mau, orang-orang yang mau maju dan berkecakapan. Ini kelompok yang paling disukai, produktif dan bekerja atas kemauan sendiri. Orang-orang yang termasuk kelompok ini tidak banyak, dan kalaupun ada umumnya sudah atau sedang bekerja di perusahaan ternama.
Berikutnya adalah orang-orang yang punya kemampuan tapi tidak punya kemauan. Masih lumayan, mereka ini sebenarnya punya kecakapan tertentu. Tapi enggan menggunakannya.
Dan golongan keempat adalah orang-orang yang mau tapi tak mampu. Yang termasuk di kelompok ini relatif gampang ditolong. Mereka punya kemauan untuk maju dan mereka hanya butuh pelatihan yang tepat agar kemampuannya meningkat.
Dua kategori terakhir inilah yang ‘dibingungkan’ oleh teman saya. Mana yang lebih penting, kemampuan (skill) atau kemauan (willingness)? Dua-duanya penting, tergantung bagaimana cara kita mengetahui titik permasalahan dan pemecahannya.
Jangan sampai, perusahaan sudah menghabiskan biaya banyak untuk memberikan pelatihan, meningkatkan skill karyawannya, ternyata problem sebenarnya adalah motivasi kerja. Demikian juga sebaliknya.
Untuk mereka yang tidak punya kemauan, bila kita berniat memanfaatkan kemampuan mereka, maka harus menemukan cara yang tepat untuk memotivasi. Membantu mereka menemukan cita-citanya bisa merangsang mereka untuk lebih produktif.
Berikan bimbingan atau konseling secara teratur, agar mereka mengenali kemampuan diri sendiri, menumbuhkan kepercayaan diri, sampai akhirnya menemukan alasan kuat mengapa mereka mesti bekerja sebaik-baiknya.
Nah, buat mereka yang sudah punya kemauan diri untuk terus memperbaiki kemampuannya, tipe ini lebih gampang mengatasinya. Tidak ada hal yang tidak mungkin buat mereka yang gigih belajar. Tinggal Anda yang memfasiitasi kemauan mereka dengan memberikan pelatihan/ training skill tertentu yang dibutuhkan perusahaan.
Lebih lanjut, Anda bisa memberikan reward bagi mereka yang berprestasi. Hal ini sebagai pancingan buat kedua kategori ini, agar terus memacu kepercayaan maupun kemampuan diri.
Amati berapa orang karyawan Anda, yang termasuk kategori pertama, kedua, ketiga atau keempat. Dan kini Anda tahu (sebagian) solusinya. Atau, Anda mungkin perlu bantuan kami? 
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 02 Mei 2016

KEPO - By: Coach Suwito Sumargo*

Gimana ya caranya, supaya karyawan saya itu selalu melaporkan setiap ada perkembangan atau perubahan? Pagi itu kami sedang membicarakan peran salah seorang Supervisor, yang diberi tugas mengawasi proses produksi di sebuah pabrik.
Si Supervisor ini bertugas mengawasi proses produksi, sejak penyediaan bahan baku, kebutuhan alat-alat penunjang sampai dengan mengawasi mutu dan menghitung jumlah produksi. Ini pekerjaan rutin, sepanjang tahun.
Sang Boss lalu menceritakan salah satu contoh kasus.
Ketika terjadi perbedaan mutu bahan baku, maka proses produksi harus segera disesuaikan atau disetting ulang. Ini tahapan yang krusial dan harus dilakukan secara hati-hati. Sang Boss ini tipikal orang yang kepo (selalu ingin tahu) perkembangan proses produksi.
Biasanya, Sang Boss menanyakan situasi di pabrik sampai 4-5 kali dalam sehari. Maklum, bila proses setting ini tidak dilakukan dengan cermat atau terlambat, maka perusahaan mungkin akan menanggung kerugian yang cukup besar.
Saya menanyakan, apakah ada seseorang yang bisa diberi tanggung jawab dalam hal pengawasan proses setting ini? Sang Boss berpikir sejenak, yang paling memungkinkan ya si Supervisor ini.
Lalu saya bertanya lagi, bila si Supervisor diberi tanggung jawab, apa saja yang harus dia lakukan? Selanjutnya, kami pun terlibat dalam diskusi tentang upaya melimpahkan tanggung jawab pengawasan proses setting ulang kepada si Supervisor.
Alhasil, akhirnya ditemukan solusi bahwa untuk mencegah agar proses setting ulang tidak terjadi sewaktu-waktu, maka dibuatlah perencanaan produksi. Dalam perencanaan ini ada rincian, misalnya tahap trial/percobaan untuk mengetahui apakah perlu dilakukan setting ulang. Atau setiap kali ada pergantian bahan baku (beda supplier atau beda batch), maka diperlukan tahap  trial/percobaan. Si Supervisor akhirnya tidak sendirian dan punya asisten yang mengawasi proses produksi.
Bagaimana dengan keinginan Sang Boss agar karyawannya selalu lapor? Ternyata, setelah ada perencanaan produksi dan tentu saja ada laporan tentang proses produksi harian, Sang Boss lebih tenang.
Ehm...ternyata masalahnya bukan pada keharusan untuk melapor, tapi memuaskan rasa kepo. Memang persoalannya tidak langsung tuntas. Sang Boss butuh beberapa waktu, sebelum dia yakin bahwa semuanya berjalan lancar.
Selama 3 bulan, saya anjurkan Sang Boss tetap melakukan kontrol secara diam-diam atau tersamar. Setelah 3 bulan, barulah dia merasa aman. Saya lalu menganjurkan untuk tetap melakukan pengawasan tersamar dengan interval 1 bulan 1x.
Pengalaman di atas merupakan salah satu tugas saya sebagai Coach, yaitu membantu pemilik usaha agar bisa melepas kendali secara bertahap, hingga akhirnya perusahaan bisa berjalan lancar tanpa keterlibatan pemilik usaha.
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Kamis, 28 April 2016

WAKTU SENTUH - By: Coach Ruaniwati*

Kapan pertama kali pelanggan ber-sentuh-an dengan kita? Waktu datang ke toko kita? Waktu mendengar iklan di radio? Waktu diberitahu oleh temannya? Waktu melihat signage usaha kita? Waktu berkenalan dengan petugas penjualan? Dan seterusnya –dan seterusnya...
Dan kapan terakhir kali pelanggan ber-sentuh-an dengan kita? Ow, pada waktu barang dikirimkan atau waktu pembicaraan telepon? Waktu meninggalkan toko kita? Waktu komplain? Waktu mendengar cerita teman? Waktu melihat iklan-iklan kita? Dan banyak kali yang lain.
Dari sejumlah "ber-sentuh-an" itu ada hal-hal yang kita bisa rencanakan, dan ada lagi yang tidak bisa kita rencanakan. Ada hal-hal positif yang diterima dan dipersepsi pelanggan, ada yang negatif. Faktanya seperti itu. Kita semua tidak sempurna, tidak ada satupun dari kita yang bisa menebak apa yang akan dibicarakan pelanggan tentang kita setiap waktu.
Yang jadi persoalan, jika kita tidak cukup tanggap untuk merancang dan menggunakan waktu sentuh ini untuk kesempatan memberikan hal-hal positif kepada pelanggan secara konsisten.
Lupakan hal-hal yang hanya sekali-sekali. "Waktu sentuh" kepada pelanggan adalah sesuatu yang membutuhkan usaha, konsistensi, kreatifitas,  perencanaan dan eksekusi yang baik.
Ada beberapa hal yang bisa kita kerjakan supaya memudahkan kita mengenali waktu sentuh dalam usaha kita:
1.    Memetakan kapan saja kemungkinan pelanggan disentuh oleh kita. Ini bukan hanya pada saat mereka berhubungan langsung dengan kita, misalnya datang ke toko, menelepon dan lain-lain, tetapi juga pada saat mereka menerima informasi tentang kita (bentuk promosi, signage toko, dan-lain).
2.    Melihat dari cara pelanggan melihat kita, tentu sesuai dengan target market usaha kita. 
3.    Merancang dan menyesuaikan cara kita berkomunikasi dengan pelanggan.
4.    Melatih anak buah kita untuk memberikan hal-hal yang positif "by design" pada waktu sentuh terjadi.
5.    Memberi ruang untuk fleksibel dan perbaikan terus menerus.
Selamat mengerjakan peran Anda!
Salam The NEXT Level!

* Coach Ruaniwati:
-     Pelatih bisnis yang telah makan banyak asam-garam di dunia Marketing, Branding dan Advertising selama lebih dari 15 tahun.

-          Aktif membantu para womanpreneur dan start-up entrepreneur melalui siaran radio di She 99.6 FM, Mercury 96.0 FM dan aktifitas belajar-mengajar di berbagai kampus terkemuka Surabaya. 

Kamis, 21 April 2016

VISI, MISI, DAN GOAL PERUSAHAAN - By: Coach Humphrey Rusli*

Sering saya dimintai pendapat oleh para pelaku dan pemilik bisnis, tentang pentingnya memiliki sebuah Visi, Misi dan Goal yang jelas. Sering pula saya jawab dengan panjang lebar untuk mendeskripsikan seberapa krusial memiliki ketiga hal itu.
Saya berpikir, kemungkinan besar perusahaan-perusahaan tersebut sedang memulai langkah awal sebagai perusahaan yang lebih terstruktur dengan rapi dan atau sedang mempersiapkan diri masuk ke segmen pasar yang lebih luas. Namun anehnya,  banyak juga perusahaan yang meminta pendapat saya, tentang hal yang sama, ternyata sudah lama memiliki Visi, Misi dan Goal yang sudah cukup jelas dan gamblang.
Mengapa mereka tetap menanyakan pentingnya memilki ketiga hal tersebut, sedangkan mereka sudah memilikinya? Bahkan sebagian diantara mereka sudah sempat menyewa jasa konsultan berkelas untuk membantu memformulasikan arah perusahaan yang dituangkan ke Visi, Misi dan Goal. 
Setelah saya pertajam pertanyaan mereka, ternyata, pertanyaan mereka bukan dilandasi oleh ketidak tahuan akan pentingnya memiliki hal-hal tersebut, namun lebih ke seberapa efektifkah Visi, Misi, dan Goal perusahaan bisa “merangsang” seluruh jajaran organisasi dan terutama di level tinggi (Top Tiers Management Level) untuk mendorong laju perusahaan  ke arah yang telah ditetapkan tersebut.
 Mengapa pertanyaan ini muncul? Hal ini tidak lain disebabkan oleh seringnya Visi, Misi, Goal perusahaan hanya sebatas kata-kata indah dan canggih. Saya tidak anti terhadap Visi, Misi, dan Goal yang menggunakan kata-kata yang indah, justru ini akan membantu menginspirasi para pelaksana di lapangan. Namun sungguh disayangkan bahwa Visi, Misi, Goal perusahaan jarang  ber-sinergi atau kurang sinkron dengan values (nilai-nilai dasar) dan beliefs system (apa yang dianggap mungkin) dari para executives perusahaan.
Atau kalaupun terjadi kesepahaman antara pembuat Visi perusahaan dan pelaksana (executor), biasanya akan sepakat secara “logika” semata. Di sinilah terletak tantangan terbesarnya. Mampukah C-Level people (pembuat kebijaksanaan) mengajak dan menginspirasi secara sistemik tim inti mereka untuk menyokong arah tujuan perusahaan? Dan kalaupun bisa, bagaimana caranya dan skill apa yang harus dimiliki oleh para petinggi perusahaan?
Saya percaya bahwa pendekatan yang paling efektif adalah dengan mempertajam kedua sisi secara kongruen. Sisi pertama adalah membuat Visi, Misi dan Goal yang berkualitas. Artinya Visi dan Misi harus mampu untuk mengajak, menginspirasi dan menantang (Engaging, Inspiring and Challenging) tim di organisasi tersebut kedalam sebuah perjalanan panjang (a Journey). Sedangkan Goal haruslah memiliki tingkat detail tinggi, terukur secara baik, dan tentu saja memiliki deadline atau tenggat waktu.
Sisi pertama ini, walaupun sangat penting, namun sudah banyak artikel, buku, dan nara sumber lain yang secara mendalam membahas cara dan teknik pembuatannya. Saya tidak akan terlalu memperdalam lagi di sini.
Sisi kedua adalah melibatkan secara holistik, nilai-nilai penting dan budaya personal dari eksekutornya. Untuk mengoptimalkan sisi kedua ini, para pemangku kepentingan di C-level management membutuhkan penguasaan sebuah skill yang berlandaskan  kedewasaan, keterbukaan, dan kepercayaan dari anak buahnya.
Skill ini laiknya disebut dengan coaching skill. Dengan pendekatan coaching, para eksekutor akan memiliki akses untuk mengoptimalkan potensi mereka, menginternalisaikan, dan menyelaraskan objektivitas pribadi dan perusahaan. Hal ini  sangatlah penting untuk memampukan para eksekutor dalam mendorong perusahaan kearah yang telah ditentukan.
Menurut The Chartered Institute of Personal and Development (CIPD: sebuah lembaga profesional terbesar di Eropa yang memfasilitasi networking dan pengembangan human resource skill), teknik coaching telah menjadi media yang sangat digemari untuk mensupport pengembangan pribadi executive.
 Salah seorang ahli juga mendefinisikan coaching sebagai teknik untuk mengembangkan ilmu dan ketrampilan seseorang (executives) sehingga performa pekerjaan mereka meningkat dan memperbesar kemungkinan pencapaian sasaran organisasi.
Terminologi coaching pertama kali dipakai di dunia olah raga, seperti tinju, golf, renang, bulu tangkis, dan sebagainya. Objektivitas utamanya adalah untuk membantu atlet-atlet berprestasi terbaik untuk mampu mengaktualisasikan seluruh kemampuan mereka secara optimal.
Di dalam dunia organisasi dan bisnis, konsep yang sama juga digunakan, coaching dipakai untuk membantu individual yang sudah berprestasi untuk dapat lebih meningkatkan efektifitas bekerja dengan cara mengeksplorasi dan mengaktualisasikan potensi tertinggi setiap individu.
Survey membuktikan bahwa peningkatan efektifitas  bekerja dalam suatu organsiasi akan meningkat sebanyak 22% setelah sebuah organisasi men-training-kan executives-nya. Namun apabila training tersebut ditambahkan dengan individual coaching pada setiap individunya, efektifitas bekerjanya meningkat menjadi 88% dibandingkan sebelumnya.
Nah, sudah siapkah anda membawa perusahaan dan diri anda sendiri “to be the best you can be”?

* Coach Humphrey Rusli:
-     Pelatih bisnis dengan pengalaman International Marketing selama lebih dari 15 tahun.
-     Pemenang International Coach of The Year 2012 (Australia), 2013 (Beijing) dan 2014 (Jakarta).

- Telah membantu kliennya meraih peningkatan profit dari 20% hingga 2000% melalui sesi-sesi coachingnya.

Senin, 18 April 2016

ES.O.PE - By: Coach Suwito Sumargo*

Saya butuh ES.O.PE tertulis, demikian jawaban seorang pengusaha ketika saya menanyakan : Apa yang bisa saya kerjakan untuk Anda? Ini menjadi awal perbincangan hangat kami siang itu.
Saya tahu, yang dimaksud adalah Standard Operation Procedure dalam bentuk tertulis atau berupa dokumen. Beliau menjelaskan bahwa dibutuhkan dokumen sebagai pegangan atau acuan, agar karyawannya bisa melakukan secara benar, tepat seperti yang diinginkan beliau dan secara terus menerus.
Omong punya omong, ternyata ketahuanlah bahwa sang pengusaha ini gregetan, karena karyawannya tidak selalu melakukan pekerjaan sesuai dengan instruksi. Sehingga beliau harus menempatkan pengawas, agar instruksinya dipatuhi.
Ketika melakukan kunjungan, saya menemukan fakta bahwa sebagian besar karyawannya sudah tahu dan sudah bisa melaksanakan instruksi kerja dengan baik. Tapi hasilnya tidak konsisten dan sering di-reject oleh bagian QC.
Temuan lain yaitu mereka tidak termotivasi untuk melakukan terus menerus, apalagi meraih prestasi (misalnya: karyawan yang menghasilkan reject tersedikit selama 1 periode).
Untuk membantu sang  pengusaha, saya menyampaikan saran yaitu bahwa SOP tertulis bukanlah satu-satunya solusi.
Singkat kata, melalui proses coaching, tim akhirnya menemukan solusi sederhana. Misalnya, di tempat kerja dikumandangkan lagu-lagu populer, sehingga suasana kerja menjadi lebih riang. Karyawan bekerja dengan relax namun tetap menghasilkan barang berkualitas. Reject pun berkurang.
Selain itu, secara berkala diumumkan siapa yang menjadi karyawan teladan. Meski tanpa gelar kehormatan dan hadiah, karyawan tetap bangga. Dokumen SOP pun akhirnya tetap dibuat. Selain tertulis juga dalam bentuk rekaman (video).
Seringkali, kita hanya melihat permukaan sebuah permasalahan saja, tanpa melihat permasalahan yang sebenarnya. Seorang Coach akan membantu Anda melihat permasalahan dan merangsang tim menemukan solusi. 
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.