Mana yang lebih dulu, ayam atau telur?
Bagi pebisnis, menjawab hal ini seperti menjawab
pertanyaan: mana yang
lebih penting, membentuk sistem dulu baru merekrut SDM? atau sebaliknya?
Dalam sebuah riset yang diadakan oleh tim Research and Development kami, sebanyak
79% pebisnis memilih sistem lebih dulu. Dengan adanya sistem, semua akan
teratur atau terencana, sehingga orang-orang yang ada akan bekerja sesuai
dengan sistem yang sudah dibuat. Sedangkan sisanya, sebanyak 21% lebih memilih
merekrut SDM dulu, dengan alasan jika orang-orangnya tidak ‘mumpuni’, maka
sistem yang lahir nantinya juga akan buruk atau tidak berkualitas.
Sebenarnya apa itu sistem? Apa pentingnya sistem dalam
bisnis kita? Dari forum
diskusi yang kami adakan beberapa waktu lalu (Jum’at, 14 Nov ’14), sebagian
besar pemilik usaha berpendapat, intinya sistem merupakan sesuatu
yang terencana, di dalamnya
terdapat orang-orang yang keseluruhannya mengacu pada visi-misi perusahaan.
Sistem bisa saja
lahir pada saat kita pertama kali membangun usaha atau pada saat usaha mulai
besar dimana proses pekerjaan kita sudah dapat didelegasikan ke bawahan.
Sederhananya, sistem itu berangkat dari aturan main. Sebuah
aturan main bisa kemudian disebut sistem jika ‘dia’ terbukti bagus, dalam artian bisa menghasilkan profit
yang berkelanjutan.
Lebih
jauh bicara tentang sistem, kita juga harus memiliki sistem default
sebagai acuan. Jika sistem baru yang kita buat
tidak sesuai dengan lapangan kita bisa kembali ke sistem default.
Sistem default adalah sistem yang berlaku di lapangan,
tidak didesain sebelumnya dan berjalan apa adanya.
Ada
kasus menarik yang diberikan coach Humphrey Rusli (moderator
FDG II) dalam forum ini. Contohnya fakta yang dialami oleh salah satu pengusaha
kuliner, waktu
usahanya berdiri di daerah kumuh, rumah makannya ramai dikunjungi pelanggan.
Namun, ketika pindah ke tempat yang lebih besar dan bersih, pengunjung malah
banyak yang ‘lari’ dan menurun drastis. Beberapa perusahaan seperti
ini,
sistemnya amburadul tetapi sukses, dan setelah sistemnya
dirapikan justru mengalami kerugian. Kok
aneh, ya? Menurut
anda, kira-kira apakah ada yang salah
dengan perubahan sistemnya dan bagaimana solusinya?
JANGAN JADI
AKTOR UTAMA SAJA
Selama
ini, sebagian besar pengusaha atau pemilik bisnis hanya menempatkan dirinya
sebagai aktor utama. Apa yang saya rasakan, apa saja yang harus saya lakukan,
menurut saya gimana. Mereka terlalu berkutat untuk perbaikan diri sendiri, tanpa
menyadari bahwa melihat dari sisi konsumen (market) adalah hal yang tak kalah
pentingnya.
Market
itu tidak mengenal teori, diperlukan analisa dan
penggalian informasi yang akurat jika kita ingin membuat sistem, terutama dalam
menggali jenis dan kemauan konsumen kita.
Selama ini konsumen membeli produk kita karena apa?
Secara
garis besar, ada 3 faktor yang menyebabkan konsumen memakai produk atau jasa
kita:
1. Fungsionalitas.
Poin ini seperti pelayanannya cepat, murah, komplit, dan
tempatnya dekat/ mudah ditemukan dimana-mana.
2. Emosional.
Kesan apa yang ingin didapatkan ketika memakai sebuah produk atau jasa. Seperti
kesan mewah, gengsi, pintar, dan masih banyak lagi.
3. Familiaritas. Seperti kebiasaan yang
sering dilakukan dan konsumen merasa nyaman dengan
kebiasaan itu.
Pada
kasus pengusaha kuliner (rumah makan) di atas, pelanggan ‘setia’ mungkin lebih
memilih datang ke depot kumuhnya, karena sudah terbiasa dan nyaman disitu
(faktor familiaritas). Bisa juga karena tempatnya yang mudah dijangkau (faktor
fungsionalitas). Sebab itu, tidak mengherankan jika kemudian rumah makannya menjadi
sepi ketika dia pindah tempat.
Alangkah
baiknya, jika pengusaha itu ingin melebarkan ‘sayap’ bisnisnya, bisa dengan
membuka cabang baru, tempat baru, jenis atau segmen konsumen baru, dan dengan
pendekatan yang baru juga. Entah itu melalui pendekatan fungsionalitas,
emosionalnya, maupun familiaritas. Itu jika kita bicara tentang konsumen bisnis
sendiri, bagaimana
dengan konsumen dari kompetitor? dalam dunia
usaha, tentunya bukan hal baru jika setiap pengusaha saling berebut konsumen
atau pasar.
Ada
beberapa cara merebut konsumen yang sudah loyal dengan produk tertentu,
diantaranya:
1. Mengeluarkan produk
yang berbeda/ unik. Bersifat lain daripada
kompetitornya.
2. Mengeluarkan produk
yang sejenis dan menyamakan familiaritasnya dengan kompetitor.
Misal mie merk XYZ, yang
mengeluarkan jenis produk sama dengan kompetitornya seperti mie kuah rasa soto
koya dan masih banyak lagi.
Sebenarnya sulit untuk
merebut konsumen yang membeli suatu produk/ jasa karena familiaritasnya, untuk
itu alangkah baiknya jika kita menciptakan konsumen dengan segmen sendiri.
Kembali ke pertanyaan utama: mana yang lebih penting, membentuk sistem dulu baru
merekrut SDM? atau
sebaliknya? dari FDG II
ini disimpulkan, sebaiknya sistem ditentukan
atau dirancang terlebih dahulu oleh pemilik perusahaan, karena pemilik
perusahaan paling berperan besar dan yang lebih banyak
menanggung resiko jika sistem yang dijalankan
‘amburadul’.