business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Kamis, 04 Juni 2015

UKURAN S, M, L, Atau XL? - By: Coach Suwito Sumargo**

Bagi pria, mestinya cukup gampang dalam hal memilih baju, terutama dalam hal ukuran. Paling-paling hanya milih ukuran S-M-L-XL atau XXL. Kenyataannya tidak demikian.
Misalnya saya sendiri. Setiap kali saya membeli baju baru, yang pertama saya lakukan adalah memilih warna dan coraknya. Selain itu, saya juga sering membandingkan bahan kainnya, apakah enak dipakai dan tidak terasa panas di badan. Ketika bertanya ke beberapa teman pria, ternyata saya mendapatkan macam-macam jawaban. Beberapa teman menjawab dengan gampang: serahkan saja ke isteri masing-masing, mereka pasti lebih tahu apa yang cocok bagi suaminya.
Sebaliknya, satu-dua teman menjawab dengan lebih detail. Para pria ini mengeluhkan banyak hal, misalnya: ukuran S-M-L-XL satu perusahaan baju dengan yang lainnya ternyata tidak sama, tidak ada standarnya. Karena itu, mereka harus mencoba beberapa kali sebelum menemukan ukuran yang pas. Ini tentu menjengkelkan.
Saya pun teringat dengan pengalaman beberapa waktu yang lalu, ketika memilih baju di salah satu Departemen Store ternama. Saya sengaja hanya mendatangi sebuah merk yang sudah familiar, karena beberapa kali saya membeli baju dengan merk tersebut, ternyata ukurannya pas banget. Nah, kali ini saya terpaksa kecewa. Setelah memilih warna, corak dan bahan, saya pun meminta ukuran L ke SPG yang bertugas. Eeh...ternyata ukuran L terlalu kecil. Dan yang pas adalah XL, dengan konsekwensi panjang lengan tak sesuai.
Kali ini saya tidak ingin membahas ukuran baju yang pas buat saya. Tapi, bukankah seharusnya setiap pabrik pakaian memiliki standar ukuran S-M-L-XL yang sama? Bukankah itu standar yang berlaku secara internasional?
Anda mungkin tidak setuju dengan pendapat saya. Karena pengalaman menunjukkan kepada kita, bahwa ukuran standar pun tidak (pernah) sama antara satu pabrik dengan lainnya. Seolah-olah setiap pabrik berhak menentukan ukuran standar nya masing-masing. Benarkah demikian?
Andaikata pendapat diatas dianggap benar, yaitu setiap pabrik pakaian bisa menetapkan standar ukuran S-M-L-XL nya sendiri, bagaimana dengan kita sebagai konsumen? Bukankah itu bakal merepotkan kita?
Sebaliknya, mungkin ini justru merupakan peluang bagi pabrik atau produsen. Yaitu, apabila si produsen bisa konsisten mempertahankan standar ukurannya, bukankah mereka berpeluang mempertahankan konsumen nya, agar loyal kepada produknya? 
Jadi, andaikata ceritanya agak sedikit berbeda, yaitu: setelah memilih warna, corak dan jenis bahan, lalu saya langsung cocok dengan ukuran L (sesuai dengan ukuran yang biasa saya pakai sebelumnya), maka sangat mungkin saya akan menjadi pelanggan loyal merk kesukaan saya.
Proses merekrut pembeli saja sudah cukup memusingkan. Nah, kini saatnya kita memikirkan: bagaimana mempertahankan agar sang pembeli menjadi pelanggan dan loyal. Bila tidak dipikirkan secara matang, mungkin masalah standar ukuran pun bisa membuat pembeli menjadi tidak loyal.
Banyak produsen yang belum apa-apa sudah putus asa: toh konsumen tidak akan loyal-loyal banget. Mereka selalu punya pilihan: warna, corak dan bahan. Memang, masih sedikit produsen yang memikirkan segala pernik-pernik keinginan pelanggannya. Kebanyakan produsen hanya membuat produk ala kadarnya, yang penting laku terjual.
Mereka enggan bersusah payah hingga bisa mempertahankan pembeli menjadi pelanggan (loyal). Anda termasuk dalam kategori mana, produsen yang benar-benar serius mikiri keinginan dan harapan pelanggankah?


** Coach Suwito Sumargo: The Winner Supportive Coach Award & System Award 2014 (Business Excellence Forum Award 2014)

Senin, 01 Juni 2015

PUJIAN - By: Coach Suwito Sumargo**

Seorang teman kagum atas kebersihan mobil saya. Ia bertanya, apakah mobil saya secara teratur dibawa ketempat cuci mobil? Dengan tersenyum saya menggeleng dan sambil menunjuk ke sopir, saya berkata mobil ini bersih karena dia rajin membersihkannya. Coba tebak, apa yang terjadi selanjutnya? Menurut Anda, bijakkah cara saya ini?
Faktanya adalah saya memuji seseorang secara terang-terangan. Anda juga bisa mempraktekkannya pada karyawan Anda. Konon, ada mitos bahwa bila kita memuji secara terang-terangan, maka orang yang dipuji tersebut akan besar kepala dan efeknya tidak baik.
Tapi, bila kita menggunakan cara yang benar, maka pujian kita itu justru berdampak positif. Dampak positif itu seperti: mereka akan menikmati pekerjaan, bekerja lebih keras, bahkan membagi kebahagiaan itu dengan rekan-rekannya, sehingga karyawan lain bisa meniru bahkan berlomba-lomba menciptakan prestasi.
Lalu bagaimana cara memuji yang benar itu?
1.     Tulus
Pujilah karyawan Anda setulus dan sepositif mungkin.
2.     Waktu
Yang dimaksud di sini adalah tepat pada waktunya. Jangan terlambat dalam memberikan pujian. Semakin cepat Anda mengapresiasi hasil kerja positifnya, akan semakin ‘mengena’ pujian Anda. Dan lebih baik jangan terlalu berlebihan, sesuaikan dengan hasil pekerjaannya saja.
3.     Gesture
Gesture berhubungan dengan bagaimana cara kita menyampaikan pujian itu. Bisa dari bahasa tubuh maupun mimik muka. Terkadang, karyawan bisa melihat tulus tidaknya kita memberikan pujian dari poin ini.
4.     Sesuai karakter orang yang dipuji
Dalam memberikan pujian, kita juga harus tahu karakter karyawan yang kita puji. Karena tidak semua karakter bisa menerima ‘perlakuan’ yang sama. Ada yang lebih senang dipuji di depan umum, namun ada juga yang lebih suka bila kita menyampaikannya secara privat.
Lalu ada yang lebih suka dipuji dengan gaya biasa saja, tapi banyak juga karyawan yang dipuji dengan gaya berlebihan (hiperbola).
Nah, bagaimana menurut Anda. Share ke saya, bila Anda punya cara memuji yang lebih bijak.
Salam The NEXT Level!


** Coach Suwito Sumargo: The Winner Supportive Coach Award & System Award 2014 (Business Excellence Forum Award 2014)

Sabtu, 30 Mei 2015

PINTAR ‘MENJUAL’, BELUM TENTU BISA JADI LEADER

Sales yang berhasil mencetak penjualan paling tinggi, belum tentu bisa jadi leader. Hal ini ditegaskan Erfina Hakim, selaku pembicara training “Sales Leadership Training”, Kamis (21/05/15) lalu.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh ActionCOACH BARACoaching Surabaya ini, Erfina juga menjelaskan karakter sales yang belum mampu menjadi seorang leader. Diantaranya sales yang hanya bergerak sesuai instruksi, tanpa memiliki fleksibilitas jangkauan dan hanya setia pada cara aman yang telah tercipta dan terbukti ‘closing’.
“Jadi dia hanya bergerak sesuai rule aja. Hal ini memang sudah benar, namun jadi seperti robot. Monoton, tidak ada ide, cara, dan gaya baru. Padahal dalam dunia sales, kreativitas proses adalah tuntutan untuk menjangkau pasar yang selalu berubah,” papar wanita yang sudah lebih dari 15 tahun bergelut di dunia sales dan marketing ini.
Lalu bagaimana ciri sales yang bisa menjadi seorang pemimpin itu? Erfina kembali menjelaskan calon leader haruslah peka terhadap kedinamisan setiap individu. Kenapa?
“Dalam dunia sales, bukan anak buah yang menyesuaikan terhadap leadernya. Namun sebaliknya, leaderlah yang harus menyesuaikan diri dengan potensi kini dan nanti dari anak buahnya, untuk kemudian mengemas sedemikian rupa dalam kerja tim dan mendobrak penjualan,” tegas penyuka musik beat ini.
Ada 6 pemahaman aspek manusia sebagai individu dinamis yang disebutkan dalam forum ini. Dua diantaranya: pertama berhubungan dengan karakter. Seorang leader perlu paham karakter setiap anak buahnya dan melihat sejauh mana konsistensi pendirian mereka. Selama ini banyak yang mengira bahwa karakter itu bawaan dari lahir dan tidak bisa diubah.
Padahal, karakter itu hanya bersifat semi permanen. Justru yang melekat dalam diri kita adalah temperamen. Temperamen merupakan gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan.
“Misal, ada konsumen pemarah. Nah bagaimana kita tahu atau bisa membedakan apakah sifat ini karakter atau temperamen?” tanya seorang peserta di tengah diskusi.
Dari diskusi dengan peserta lainnya didapat kesimpulan, bisa diidentifikasi salah satunya dengan melihat seberapa lama marahnya itu hilang.
Lebih jauh, pemahaman tentang temperamen memungkinkan seorang sales leader bisa menghandle anak buah sekaligus calon konsumen, untuk meningkatkan penjualan.
Salah satu peserta, Ellen Anatasia mengaku, ada hal baru yang dia dapat dari training ini.

“Satu poin yang paling mengena dan baru buat saya, bahwa sales yang terbaik dalam penjualan itu belum tentu bisa jadi leader yang bisa memimpin anak buahnya,” tutur wanita yang juga pemilik dari EDEN Wedding Decoration ini. 

Sabtu, 23 Mei 2015

55% KUNCI KOMUNIKASI ADA PADA ‘BAHASA’ TUBUH

Sebagian besar pelaku bisnis berpendapat, sales yang handal adalah sales yang pandai ‘bicara’. Padahal faktanya, pendukung terbesar kunci keberhasilan ‘closing’ adalah dengan memainkan bahasa tubuh.
Hal ini dipaparkan Erfina Hakim dalam training “Body Language As Behaviour Detector”, Kamis, (20/05/15) lalu. Bertempat di Office BARACoaching Surabaya, acara ini merupakan bagian dari pelatihan internal untuk klinik kecantikan de Lovely.
Banyak hal dikupas dalam forum ini, diantaranya fakta penting tentang bahasa tubuh.
“Fakta penting yang selama ini tidak disadari tentang bahasa tubuh adalah 55% sebagai pemegang penting dalam keberhasilan komunikasi. Banyak pelaku bisnis yang tidak tahu dan justru terjebak pada pemahaman, tenaga sales dan marketing yang handal itu jika mereka pintar ‘ngomong’,” tutur Erfina selaku pembicara.
Selain fakta penting, para peserta diajak belajar contoh-contoh perilaku non verbal dan aplikasinya dalam pekerjaan sehari-hari. Juga diajarkan bagaimana membaca bahasa isyarat (untuk mengenali perasaan, pikiran, dan niat) yang ‘disampaikan’ oleh wajah, torso, tangan, serta kaki.
“Satu lagi fakta yang kita tidak tahu, bahwa sebenarnya bagian tubuh yang paling jujur adalah kaki,” ungkap wanita murah senyum ini.
“Itulah sebabnya, para pelaku bisnis yang sudah tahu hal ini sering melakukan negoisasi di ruang terbuka, atau yang memungkinkan melihat kaki calon prospeknya,” tambahnya lagi.
Diikuti oleh seluruh karyawan, jajaran manajerial, sampai pemilik perusahaan, acara ini berlangsung seru. Para peserta juga aktif berdiskusi dengan pembicara terkait problem yang mereka hadapi dalam pekerjaan sehari-hari.
Olivia Woen, salah satu peserta mengaku merasa puas dengan training ini.
“Training ini berjalan sesuai dengan harapan saya. Pembicaranya interaktif, all out, dan bisa menghidupkan suasana, sehingga peserta training tidak bosan mengikuti. Hal baru yang saya pelajari diantaranya tentang torso dan kaki sebagai bagian tubuh yang paling jujur,” ungkapnya.
Lebih lanjut, wanita yang juga pemilik klinik de Lovely ini berharap, setelah mengikuti training ini, timnya bukan hanya bisa membawa diri, namun juga bisa membaca kemauan customer lewat bahasa tubuh. 

Kamis, 21 Mei 2015

BELAJAR ‘MENJUAL’ DARI FILM FOCUS - By: Coach Humphrey Rusli**

Sudah nonton film "FOCUS"? Film ini menceritakan kisah seorang "ConMan" atau penipu yang bernama Nicky Spurgeon (diperankan oleh Will Smith) dan muridnya Jess (Margot Robbie). Film ini saya angkat dalam artikel ini, karena ada adegan yang sangat bagus dan saya kira relevan dalam dunia marketing dan sales.
Diceritakan bahwa Nicky dan Jess hendak menipu seorang cukong cina yang hobby judi. Mereka mensetting seolah-olah mereka (Nicky dan Jess) bertemu secara tidak sengaja dengan si cukong yang sedang menonton American Football di stadiun. Nicky dan Jess pun sedang menonton pertandingan olah raga ini dalam stadiun yang sama dan duduk hanya beberapa meter dari si cukong.
Singkat cerita, mereka (Nicky and Jess) beradu judi dengan si cukong, mulai dari menebak score, menebak arah bola dan lain sebagainya. Si cukong terus menerus menang dan berhasil menebak dengan benar terus, dia merasa sangat beruntung hingga akhirnya si cukong bersedia untuk bermain yang terakhirnya dengan taruhan uang sangat besar USD 1,000,000. Apa yang harus ditebak?
Si cukong memilih satu pemain dari semua pemain di lapangan berdasarkan insting si cukong, dan Nicky wajib menebak angka punggung pemain berapa yang ditebak oleh si cukong.
Apakah Nicky berhasil? Yes, angka 55 yang dipilih secara random oleh si cukong berhasil ditebak oleh Nicky and Jess! Luar biasa bukan! Berapa kecil kemungkinan benarnya? 1: 10000000... Alias sangat kecil sekali. Apakah ini keberuntungan semata? Ternyata tidak.
Semua sudah direncanakan sejak awal dengan matang. Angka 55 secara terus menerus sudah dimasukkan ke benak alam bawah sadar si cukong. Mulai dari si cukong check out dari hotel, sudah ada lampu hias dengan motif "55", ketika keluar di jalan, si cukong melihat demonstran yang membawa spanduk bertuliskan "55", bahkan ketika sedang di ruangan khusus dalam stadiun, Nicky dengan sengaja memutarkan lagu yang mengandung kosa kata "WU..WU..WU" yang dalam bahasa mandarin berarti "5".
Tanpa sadar si cukong sudah digiring untuk memilih angka 55.
Menarik bukan? Apa hubungannya dengan marketing and sales? Kadang perilaku konsumen kita mirip seperti si cukong itu, mereka sulit ditebak dan terkesan instingtif akan produk atau jasa mana yang akan dipilihnya. Dan tentunya supplier mana yang dipilih akhirnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun sebenarnya ini bisa kita rencanakan.
Setiap transaksi yang terjadi itu sebetulnya dimulai dari proses yang panjang. Bagaimana anda bertemu prospek, seberapa sering anda bicara dan tukar informasi dengan dia, seberapa sering anda dia jumpai dalam acara-acara non formal, dan seberapa kerap dia melihat brand anda atau mendengar tim anda menceritakan jasa atau produk anda.
Sudah saatnya anda yang menentukan "nasib" perusahaan anda. Nah sudahkah anda mendesain dengan cermat proses pemasaran dan penjualan anda?
"At the end of the day..this is A Game Of FOCUS."

Salam The NEXT Level!

*** Coach Humphrey Rusli:
- Coach of the Year 2014 (BEF Award Indonesia 2014) ;
- Sales Coach of the Year 2012 se-Asia dan Australia;
- Associate Coach of the Year 2013 tingkat Internasional (44 negara).

THE ULTIMATE SALES TRAINING (With PT. Adi Caraka dan Gramedia)


 The Ultimate Sales Training dengan Tim PT. Adi Caraka (Hotel Somerset Surabaya, 01-02 Mei 15)



"Sales itu komitmen teknik pada hasil. Maksudnya, jangan terlalu mikir pada hasilnya, tapi pastikan secara total menjalankan prosesnya.

Nah, di training ini Anda akan dibukakan bagaimana menchallenge diri Anda untuk menemukan teknik menjual dari waktu ke waktu, secara efektif dan mudah, minimal buat Anda sendiri."
(Erfina Hakim - Pembicara)

"Secara garis besar, teori yang disampaikan saya sudah pernah mendengar sebelumnya. Namun bedanya, dan yang membuat saya sangat mengapresiasi adalah cara pembicara menyampaikan serta menganalogi, bagaimana kita bisa menerapkan dan mempraktekkan teori itu dalam pekerjaan kita sehari-hari."
(Yosa – PT. Adi Caraka Cab. Surabaya)

"Training ini menjawab kebutuhan perusahaan, baik dari segi sales dan marketing, maupun manajemen. Secara teknik marketing, kita mendapatkan metode serta cara baru yang bisa diterapkan di lapangan. Lebih dari itu, dari sisi manajemen juga diajarkan, bagaimana melihat karakter calon karyawan (tenaga sales dan marketing) dan memilahnya untuk bergabung di perusahaan."
(Ari M. – PT. Adi Caraka Cab. Semarang)

"Banyak hal baru yang saya pelajari setelah ikut training ini. Saya jadi ingat kembali, untuk menantang diri lagi. BREAK The LIMIT!"
(Shelvy – TB. Gramedia)

The Ultimate Sales Training, Kerjasama dengan Gramedia (Office BARACoaching Sby, 18 Mei '15)

Senin, 18 Mei 2015

BERPIKIR POSITIF DI MASA ‘PACEKLIK’ - By: Coach Suwito Sumargo**

Suatu hari, seorang teman bertanya kepada saya: "Apakah bisnismu baik-baik saja?"
Untuk sesaat saya terdiam. Lalu saya menjawab: "Ya, bisnisku baik-baik saja. Memangnya kenapa? Ada apa sih, kog nanya seperti itu?"
Memang, belakangan ini banyak teman mengeluhkan situasi ekonomi yang tidak menentu atau lebih tepatnya: lesu. Mereka bertanya-tanya kesana kemari, mencari solusi.
Ada beberapa pengusaha yang terpaksa mengambil jalan pintas, demi mempertahankan arus kas. Tepatnya: berusaha mendapat Quick Cash. Maklum, mereka harus bayar cicilan.
Tapi ada juga yang bisnisnya tetap moncer dan sebagian lainnya biasa-biasa saja, tak terlalu terpengaruh dengan situasi ekonomi.
Lalu, bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita?
Dalam situasi seperti ini, sebelum bertindak saya akan bertanya: "Apakah di caturwulan kedua, situasi akan membaik, sama saja atau memburuk?". Karena saya lebih suka berpikir positif, maka jawabannya adalah: situasi pasti akan membaik.
Jadi, saya akan memanfaatkan masa-masa sepi ini untuk pelatihan karyawan, atau memperbaiki peralatan kerja, atau menguji kehandalan sistem IT yang baru, dan lain-lain. Semuanya bertujuan agar perusahaan lebih siap menghadapi situasi ekonomi yang lebih bergairah.
Apakah Anda sepaham dengan saya? Apa yang akan Anda lakukan di masa-masa sepi ini? Share jawaban, pendapat, dan pengalaman Anda by email ke: suwito@baracoaching.com.

** Coach Suwito Sumargo: The Winner Supportive Coach Award & System Award 2014 (Business Excellence Forum Award 2014)