Pernah dengar brand IKEA? Saya yakin anda sudah pernah dengar
dan malah pernah menggunakan produknya. Terutama bila anda pernah jadi
mahasiswa yang merantau di luar negeri untuk sekolah, dan pas-pasan kantongnya seperti
waktu saya dulu kuliah.
Dulu, saya sering mengunjungi toko mebel IKEA untuk sekedar
membeli perabot-perabot yang relatif murah, pas-pasan kekuatannya, namun
ringkas tempat alias tidak terlalu makan tempat ketika dimasukkan ke dalam flat apartment saya yang kecil.
IKEA, produsen furniture
terbesar di dunia asal Swedia ini sangat terkenal dengan efisiensinya sehingga
bisa menekan cost yang berujung pada
lebih "murah"nya harga produknya dibanding toko-toko mebel sejenis.
Mengapa bisa demikian efisiensi? Karena (hampir) seluruh produknya
didistribusikan dalam kondisi knockdown
(sangat hemat tempat) dan ketika terjual secara retail ke anda pun, anda akan
membawa pulang dalam kondisi knockdown
(sehingga kadang tidak butuh kendaraan besar, cukup mobil niaga sudah memadai)
untuk nanti sampai di rumah anda, disusun menjadi mebel utuh siap pakai. Nah,
inilah salah satu faktor utama yang membuat cost
IKEA bisa ditekan serendah mungkin.
Apakah secara mutu dan kualitas produk IKEA lebih baik
dibandingkan furniture yang lain? Tentu tidak. Bahkan sangat sering orang
"menyindir" kualitas IKEA sebagai kualitas sub par alias di bawah
standard dan ada pula yang bilang beli produk IKEA seperti beli produk MockUp,
yaitu produk semi jadi, dan belum siap pakai.
Lalu mengapa perusahaan ini semakin jaya dan jumlah
konsumennya bukannya semakin turun namun semakin berlipat ganda dari tahun ke
tahun? Saya dulu berpikir bahwa konsumen IKEA pasti hanyalah
mahasiswa-mahasiswa yang belum berkantong tebal. Saya salah! Orang yang sudah
jauh lebih mampu secara finansial pun sering membeli produk IKEA.
Apa Gerangan Resepnya?
Jawabannya: IKEA Effect. Apa ini?
Salah satu studi tentang Customer
Behavior di USA mengadakan penelitian menarik tentang bagaimana konsumen
IKEA ternyata jauh lebih cinta dengan furniture
IKEA bukan karena mutunya, namun karena mereka harus sedikit berjerih payah
untuk menyusun perabot mereka sendiri.
Benar! IKEA "memaksa" konsumennya untuk mandiri dan
dengan bekal buku petunjuk dan alat-alat sederhana, konsumen diarahkan untuk
menyusun sendiri perabotnya sampai di rumah. Namun alih-alih konsumen jera,
malahan mereka lebih mengapresiasi hasil karya atau buah tangan mereka sendiri
dibandingkan membeli mebel yang sudah jadi.
Ini yang dimaksudkan dengan IKEA Effect. Kita secara irasional menaruh tinggi rendahnya nilai sebuah
produk berdasarkan seberapa besar effort,
waktu dan tenaga kita tercurahkan. Semakin besar tenaga kita yang tersita,
semakin kita "sayang" akan produk tersebut.
Bagaimana Meniru
IKEA Effect Untuk Bisnis Anda?
Libatkan konsumen anda untuk memberi saran, memperbaiki
kondisi pelayanan dan mutu produk anda. Ini bukan sekedar survey saja, namun lebih dari itu, kasih konsumen anda untuk
berkreasi bersama anda.
Berkreasi tidak harus ikut bekerja, cukup ikut memperhatikan
proses kerja anda pun sebenarnya sudah memiliki kesan ikut bersumbangsih.
Contoh: restoran yang menggunakan konsep open
kitchen. Para pengunjung bisa ikut melihat secara transparan serta
menikmati demo dari sang chef dalam
mengolah makanan. Ini pun sudah termasuk IKEA Effect.
Atau di manufacturing,
konsumen boleh ikut masuk ke dalam dan melihat proses produksi. Inipun sudah
termasuk IKEA Effect.
Kesimpulannya:
1. Libatkan konsumen secara fisik: berdiri, mengamati, menyusun, dan sebagainya.
2. Libatkan konsumen secara emosional: menunggu, berpikir, mendengarkan, dan sebagainya.
3. Tunjukkan bahwa proses yang mereka lalui membuahkan reward yang instant. Contoh: IKEA memberikan harga lebih murah karena anda yang menyusun sendiri, restoran open kitchen memberikan "jaminan" prosesnya higienis karena anda pun bisa melihat langsung, dan sebagainya.
1. Libatkan konsumen secara fisik: berdiri, mengamati, menyusun, dan sebagainya.
2. Libatkan konsumen secara emosional: menunggu, berpikir, mendengarkan, dan sebagainya.
3. Tunjukkan bahwa proses yang mereka lalui membuahkan reward yang instant. Contoh: IKEA memberikan harga lebih murah karena anda yang menyusun sendiri, restoran open kitchen memberikan "jaminan" prosesnya higienis karena anda pun bisa melihat langsung, dan sebagainya.
Nah, sudahkah anda memiliki "IKEA Effect" untuk
konsumen anda?
Salam The Next Level!
Salam The Next Level!
*** Coach Humphrey Rusli:
- Coach of the Year 2014 (BEF Award Indonesia 2014) ;
- Sales Coach of the
Year 2012 se-Asia dan Australia;
- Associate Coach of
the Year 2013 tingkat Internasional (44 negara).
0 komentar:
Posting Komentar