business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Senin, 18 September 2017

RESPON - By: Coach Suwito Sumargo*

Anda mungkin sudah jarang naik travel. Tapi mudah-mudahan masih bisa menangkap makna cerita saya berikut ini. 
“Pak (sopir), bisa berhenti di toilet?“, begitu suara penumpang di bangku paling belakang. 
Karena nggak ada balasan, penumpang di deretan tengah mempertegas: “Pak, ini ada yang mau ke toilet”. 
Pak Sopir pun menjawab lirih: “Waduh”.
Lalu sedetik kemudian menjawab lebih keras: “Nanti kalau ada pom bensin yaa”. 
Saat itu, saya bisa merasakan betapa penumpang di belakang tadi sangat butuh untuk segera ke toilet. Dan di sisi lain, saya juga merasakan kejengkelan pak sopir, karena perhatiannya jadi terpecah, antara harus segera mencari pom bensin (SPBU) terdekat dengan fokus jalan. Padahal jalanan sedang padat, cenderung macet. 
Meskipun begitu, tidak seharusnya pak sopir memberikan respon seperti di atas. Karena tak bisa dipungkiri, kesannya lebih terdengar menggerutu dan kurang berempati.
Saya pun langsung berangan-angan, bagaimana mengajari para front liner agar bisa memberi respon yang tepat pada kejadian seperti ini? Dan bagaimana para owner dan supervisor aware tentang hal semacam ini? 
Di bisnis apapun, customer butuh respon segera dan penuh perhatian. Bukan hanya saat menangani claim atau complaint, tapi sejak calon customer mendatangi gerai. Responnya bisa dalam bentuk: segera menyapa dengan sopan atau memberikan perhatian. 
Bisnis hospitality, seperti hotel dan restoran sangat mengedepankan hal ini. Juga bisnis lain di bidang jasa, seperti salon kecantikan, spa, bengkel, dan lain-lain. Apalagi bila produknya tak punya keunggulan atau brand-nya belum bisa diunggulkan. Maka kualitas pelayanan menjadi tolok ukur pertama. 
Pada kasus di atas, salah satu solusi yang bisa diberikan adalah dengan mengandalkan kecanggihan teknologi yang semakin pesat. Pak sopir bisa mengintip gadget-nya, dan segera tahu seberapa jauh SPBU terdekat. Dengan aplikasi pada gadget, sopir juga bisa tahu jalan mana saja yang macet dan tidak, sehingga bisa mengambil jalan alternatif yang cepat untuk menuju SPBU.  
Setelah itu dia bisa menginformasikan, seberapa lama penumpang masih harus menahan ‘kebutuhan khusus’nya. Meski hanya sekedar menginformasikan, penumpang akan merasa lega, karena diberi perhatian. 
Semoga kita tidak lupa mengajari para front liner untuk berempati kepada calon customer agar kita tidak sampai disibukkan pada complaint customer. 
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 04 September 2017

BISNIS TIDAK BISA BERJALAN TANPA PEMILIKNYA? - By: Coach Suwito Sumargo*

Setelah menjalani coaching beberapa waktu, ternyata masih ada client yang berpendapat bahwa bisnis itu tidak bisa berjalan tanpa owner-nya (without me). 
Mereka bukannya tidak percaya, tapi masih terlalu sibuk dengan 4 step pertama dari 6 step. Yaitu, mereka masih berkutat di tingkat Mastery, Niche, Leverage dan Team
Di tingkat Mastery, mereka merasa operasional bisnisnya masih kacau balau, tidak teratur. Anak buahnya tidak disiplin, masih sering seenaknya sendiri. Atau karyawan absen tanpa memberi tahu, sehingga pekerjaan terbengkalai. Mereka tidak bertanggung jawab. 
Ada lagi keluhan, tagihan yang molor sehingga keuangan perusahaan terganggu. Terpaksa menambah hutang agar tetap bisa bayar supplier tepat waktu. Lalu, tetap saja tidak punya laporan keuangan yang akurat atau valid. Pekerjaan admin yang tidak rapi, sehingga terpaksa si boss harus mengerjakan ulang. 
Masih banyak lagi keluhan yang saya temui. Pada dasarnya, para Boss ini ingin serba instant. Begitu ikut coaching, maka 'otomatis' bisa without me. Mereka tidak cukup sabar membangun Business Mastery, yang merupakan pondasi bisnis. 
Hal lain yang mencolok adalah Leadership. Sebagai owner, memang seorang Boss bisa memerintahkan apa saja. Dan ini mungkin mengarah pada kepemimpinan absolut, sehingga team-work bakal tidak terbentuk. Segala hal dipikir dan diputuskan sendiri oleh Boss. Bawahan hanya sebagai pelaksana. Maka nasib perusahaan pun makin tergantung pada sang Boss. 
Coaching adalah kesempatan untuk merapikan dan memperkokoh pondasi perusahaan. Keteraturan adalah urusan bersama. Karyawan belajar disiplin secara sadar. Bukan karena disuruh disiplin. Hanya tim yang se-visi dan paham misi bersama saja yang bisa bekerja sama dalam mencapai goal. 
Kalau setelah coaching hanya Boss-nya saja yang semakin pintar, ini bukanlah sasaran yang ingin dicapai melalui coaching
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 21 Agustus 2017

SESUAI JOB DESC DAN CUEK? - By: Coach Suwito Sumargo*

Ini jam 8.10, saya sudah berada di pool sebuah travel. Saya diberitahu agar stand by antara jam 8.15 - 8.30. Lho, bukannya ini travel yang jam 9.00.
“Ya pak, untuk keberangkatan jam sembilan akan diberangkatkan lebih awal karena harus mampir di pool lain. Dan ini pool pertama”. Demikian penjelasan via sms, saat memesan kemarin. 
Sambil menunggu, saya mengamati tingkah laku dua orang staf di depan saya. Wanita yang satu, sibuk melayani antrian. Begitu ada seorang pelanggan ingin mengubah jadwal, maka antrian langsung mengekor. Tampaknya, prosedur perubahan jadwal tidak mudah dilaksanakan oleh si staf wanita tadi. Sehingga dia harus berkomunikasi via HP, minta arahan dari kantor pusat. Itu butuh lebih dari 5 menit. 
Staf wanita yang lainnya tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Dia sedang menulis di sebuah buku besar dan menghitung uang. Cuek dengan kejadian di sebelahnya. Tak lama kemudian, masuk seorang staf wanita lain, langsung duduk di balik meja paling ujung. Dia pun hanya memandangi 2 rekannya tadi. 
Tak lama kemudian, staf yang sibuk menulis itu tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya, dan langsung membantu menangani antrian. Ternyata orang-orang yang antri itu ingin membeli tiket atau memesan tempat. Sejak saya masuk sampai saat ini, waktunya sekitar 10 menit. Dan selama itu, telpon berdering tanpa ada yang mengangkat. Bahkan ketika seorang pria masuk dan mengumumkan saatnya berangkat, tak seorangpun mengangkat telpon! Oo..pantesan sejak kemarin saya nggak bisa menelpon dan terpaksa berkomunikasi dengan kantor pusat. 
Ini mungkin terjadi di perusahaan kita. Terutama saat kita punya cabang atau outlet kecil dengan jumlah staf terbatas. Saya yakin, setiap orang di depan saya tadi, adalah orang-orang yang mampu mengerjakan sesuatu (termasuk seorang staf wanita, yang sampai saat saya berangkat, hanya melayani 1 kiriman paket saja), sesuai dengan job desc-nya.
Tapi ini konyol. Telepon berdering terus menerus itu mungkin dari orang-orang yang akan membeli tiket. Dan kita mungkin kehilangan peluang.
Dalam bisnis, melayani pelanggan memang tugas paling utama. Tapi, mengabaikan peluang adalah pantangan. Mengapa si staf wanita penerima paket itu tak dilatih untuk mengangkat telepon? Mengapa kedua staf wanita yang sibuk itu tidak memanggil si pria yang mengumumkan keberangkatan tadi untuk mengangkat telepon?
Apakah di perusahaan kita terjadi hal serupa?  
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 07 Agustus 2017

KESALAHAN KARYAWAN? - By: Coach Suwito Sumargo*

“Coach, gimana ya cara mendisiplinkan karyawan?” 
“Apa dulu kasusnya?” 
“Gini...ini biasanya terjadi setelah meeting bulanan. Manager saya, yang mestinya setelah melakukan follow up, dia wajib melaporkan proses dan hasilnya. Tapi dia tidak melaporkan, sampai saya tanyai dia. Saya pinginnya sih, karyawan-lah yang otomatis melaporkan perkembangannya. Gimana, Coach kalau seperti ini?” 
Kejadian seperti ini, sudah sering saya dengar. Mari kita cari solusinya. 
Karyawan tidak otomatis melaporkan, karena dia tidak/belum merasa punya kepentingan dengan 'urusan' itu. ‘Sebodoh’ amat...mereka cuek saja, karena beranggapan si Boss-lah yang butuh. 
Kalau seperti ini, maka kita harus berusaha mengubah pola meeting-nya. Jangan hanya one-way, tapi lebih interaktif dan karyawan diberi kesempatan menyampaikan pendapat. Lalu, mereka diminta komitmennya untuk menjalankan. 
Bila mereka bisa menjalankan dengan baik, maka kita hargai upayanya. Ini akan merangsang mereka untuk menjalankannya terus-menerus sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. Kita tak perlu lagi menagih laporan. 
Memupuk kebiasaan ini tentu tidak mudah. Itu sebabnya, kita seringkali mencari karakter orang yang disiplin. Yang sudah punya kebiasaan, atau yang mungkin sudah terbiasa/ dibiasakan disiplin di tempat kerja sebelumnya.
Disiplin itu umumnya hasil dari bentukan, entah karena tradisi keluarga, atau lingkungan. 
Bila kita ingin karyawan kita disiplin, sebaiknya dimulai dari diri kita. Dan kita harus berusaha menularkannya hingga lingkungan di sekitar kita punya kebiasaan disiplin. 
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 24 Juli 2017

JALAN TIKUS - By: Coach Suwito Sumargo*

Pernah dengar istilah 'Jalan Tikus'? 
Mungkin istilah ini sudah jarang terdengar lagi. Orang lebih mempercayai Apps sebagai penunjuk jalan. 
'Jalan Tikus' ialah jalan yang tak lazim atau tak populer. Tidak banyak yang tahu, sehingga jarang dilewati orang & kendaraan. Relatif lebih sepi, sempit, berkelok-kelok, kadang kondisi jalannya tidak mulus, dan mungkin malahan lebih jauh jarak tempuhnya. Tapi lebih lancar. 
Kita memilih 'Jalan Tikus' karena jalan yang biasa ditempuh sedang macet, atau ditutup. 'Jalan Tikus' adalah jalan alternatif atau terobosan. 
Bagi sebagian orang, menemukan sebuah terobosan itu terasa luar biasa. Bangga dan senang, apalagi bila terobosan itu ternyata berguna dan jadi panutan banyak orang. 
Dalam bisnis juga seperti itu. Pengusaha ditantang untuk (selalu) mencari dan menemukan terobosan-terobosan baru yang bakal jadi diferensiasi dan keunggulan bisnisnya. 
Isteri saya punya langganan, penjual ayam potong (ehm,.salah..:D). Isteri saya adalah pelanggan si penjual ayam potong itu. Dari 3-4 penjual ayam potong di pasar, hanya 1 orang ini saja yang menyempatkan diri dan bertanya alamat rumah kami. Dia pula satu-satunya yang menginfokan nomer hape-nya: “Ini WA saya. Silahkan hubungi bila butuh apa-apa,” ucapnya seraya senyum. 
Seminggu kemudian, kami mulai memesan ayam potong via WA. Adalagi, pesanan kami di kirim ke rumah, tanpa biaya tambahan. Wow!
Saat rekan sesama pedagang ayam potong belum mengoptimalkan gadget-nya, pedagang yang satu ini sudah membuat terobosan. Hanya saja, terobosan ini bukan jalan tikus lagi, tapi jalan ’Tol. Nyaman’ (ndak usah jalan ke pasar lagi), cepat dan terjamin. 
Dulu, 'Jalan Tikus' jadi keunggulan, karena jarang yang tahu. Sekarang, semua orang punya informasi. Tapi, tetap saja kita harus mencari terobosan. Kalau perlu, lewat Tol...supaya lebih cepat. Apakah Anda masih pakai 'Jalan Tikus'?  
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 10 Juli 2017

CHANGE IS A PROCESS - By: Coach Suwito Sumargo*

Di Instagram, saya mengutip quote: Change is a process, not an event. Ini terinspirasi oleh gejala yang marak di kalangan orang-orang muda masa ini. Mereka umumnya berpendapat, segala hal bisa diraih secara instant serta enggan mengikuti proses yang lama dan ‘njlimet’
Di kehidupan sehari-hari,  banyak contoh produk atau usaha yang mendadak populer. Misalnya di Surabaya, ada penjual kue Terang Bulan yang mendadak terkenal. Saat itu, saya harus antri hingga 1 jam hanya untuk mendapatkan 1 kotak kue yang legit itu. 
Ini berbeda dengan 10 atau 15 tahun yang lalu, dimana orang butuh waktu lama untuk terkenal. Padahal, bagaimanapun itu butuh proses: dari belum dikenal hingga terkenal.
Pada prosesnya, hal pertama yang mesti dipikirkan adalah kita harus memilih: ingin dikenal sebagai siapa atau apa? Misalnya, ingin dikenal sebagai penyedia jasa pendampingan yang bertaraf internasional. Kemudian, kita bisa memilih, kepada siapa kita akan mengomunikasikannya? Apakah ke setiap orang atau ke orang-orang di kelompok tertentu saja. Lalu kita harus memilih, menggunakan media komunikasi apa?
Nah, bila kita memang punya keistimewaan (dan itu biasanya bukan terjadi serta merta), lalu kita pintar mengomunikasikannya dan memilih media komunikasi yang tepat, maka kita akan terkenal dalam waktu singkat, di kalangan tertentu. Tapi sekali lagi, itu tidak terjadi secara instant, lho!
No! Tetap butuh proses. Ketepatan kita dalam berproseslah, yang menentukan lama tidaknya sukses (terkenal) yang kita raih.

Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 29 Mei 2017

WOW... - By: Coach Suwito Sumargo*



Delay...rasanya sudah jamak bagi saya. Statistiknya 80% pasti delay dibanding 20% ontime. Bahkan, persentase ontime bisa jadi lebih kecil dari 20%.
Bila saya ingin terbang (dengan persentase) ontime yang lebih besar, maka saya harus memilih penerbangan yang tiketnya lebih mahal. Ya tentu saja, hukum ‘ono rego ono rupo’ (ada harga ada rupa), berlaku. Penerbangan tertentu memang terkenal commited dengan jadwal yang dipublikasikan. Ketepatan waktunya (hampir) selalu bisa diandalkan. 
Tapi, saya pernah dibuat kagum ketika penerbangan (yang biasanya molor itu), kali ini tetap terbang meski penumpangnya hanya 4 orang. Padahal kapasitasnya 80-an orang. Ehm...seperti naik pesawat pribadi aja, deh. Kenapa saya kagum? Karena penerbangan ini ternyata berusaha menepati janjinya ke saya dan 3 orang penumpang lainnya. Ia tetap menerbangkan saya pulang ke Surabaya. Memang kali ini delay-nya 3 jam. Ya, ndak tanggung-tanggung: tiga jam. 
Bandingkan dengan pengalaman saya yang lain: naik KA eksekutif, yang selalu on time. Interior gerbongnya lumayan mewah. AC-nya dingin, TV menayangkan film atau lagu. Selimut dan bantal kecil tersedia (free of charge). Dan harganya jelas terjangkau alias lebih murah. Layanan dan fasilitasnya jelas layak diacungi jempol. 
Kedua moda transportasi ini tak bisa dibandingkan begitu saja. Ini tidak setara, not Apple to Apple. Ekspektasi penumpang pesawat jelas lebih tinggi. Tapi untuk mendapat layanan premium (kelas atas), mereka harus merogoh kocek 3x lipat, lebih mahal ketimbang tiket kereta api kelas eksekutif.
Bila Anda ingin memuaskan konsumen/ customer Anda, perhatikanlah seberapa tinggi harapan dan tuntutan mereka. Bila mereka mendapatkan layanan, fasilitas dan kenyamanan yang lebih tinggi dari harapan/ tuntutan, mereka akan mengacungkan jempol dan memberi pujian.  
Bila dibandingkan dengan layanan kereta api 30 tahun yang lalu, apa yang saya alami saat ini (naik kereta api) betul-betul sebuah kejutan. Sebuah WOW.
Tapi bila dibandingkan dengan pengalaman naik pesawat (business class)...ya masuk belum wow amat. 
Tapi, awas...tuntutan masyarakat berubah. Sekarang, on time lebih (terasa) berharga, ketimbang fasilitas lounge/ ruang tunggu yang mewah. No delay, akan lebih memberikan efek WOW. 
Bagaimana dengan konsumen/ customer Anda? Apa tuntutan dan harapan mereka? Sudahkah kita memperoleh acungan jempol mereka?  
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.
- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.