business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Kamis, 20 Agustus 2015

FANTASTIC 4 DAN POLA BISNIS - By: Coach Ruaniwati**

Ini BUKAN resensi film FANTASTIC 4. Marvel kembali menyuguhkan keahlian mereka dengan para superheroes setelah kemunculan AVENGERS beberapa waktu lalu.
Kali ini mengusung para pemain muda, kalau dari cerita, seperti-nya tidak terlalu spektakuler. Empat orang remaja-pemuda brilian membuat mesin waktu untuk mencari versi bumi yang lain, sebutlah bumi 2.0 :D.
Mereka berhasil membuat mesin tersebut, dan sekaligus pergi ke bumi 2.0. Hasilnya? Secara fisiologis tubuh mereka menjadi berbeda karena kekuatan energi di bumi 2.0, sehingga mereka menjadi "super power" di bumi.
Sayangnya walaupun cukup menarik untuk ditonton, saya tidak menemukan kedalaman relasi dari karakter masing-masing tokoh cerita, alias kurang "chemistry". Sangat berbeda dengan Avengers.
Ya, memang ada sedikit konflik di antara keluarga "storm", namun tidak cukup banyak dan dalam digali sehingga menampilkan ketajaman karakter tokoh-tokohnya.
Walaupun demikian saya belajar satu hal ketika menonton film ini, yaitu tentang pola tertentu. Adalah Sue Storm yang diceritakan ahli dalam mencari pola, Sue berkesimpulan jika kita semua mempunyai pola tertentu dalam hidup kita.
Contoh sederhana mungkin pola perjalanan kita dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya pola ini telah terbentuk sehingga kita biasanya mengikuti pola ini tanpa memikirkan lebih jauh. Di beberapa film terakhir Marvel, yang saya ingat The Avengers, setelah film berakhir, kalau kita cukup sabar menunggu, ada cuplikan scene pendek.
Saya amati juga, waktu berakhirnya film, penonton menunggu cuplikan singkat ini (yang ternyata tidak ada) dan berharap. Artinya Marvel telah berhasil menciptakan pola yang ditunggu-tunggu oleh penonton bukan?
Apakah ada pola tertentu dalam bisnis Anda yang bisa diciptakan untuk mendatangkan benefit bagi perusahaan Anda? Share-kan cerita Anda ke ruaniwati@baracoaching.com. Dapatkan kesempatan untuk FREE 1 jam konsultasi tentang bisnis Anda.
Salam The NEXT Level!


** Coach Ruaniwati: pelatih bisnis dengan pengalaman lebih dari 16 tahun di bidang marketing, branding, dan advertising.


Kamis, 13 Agustus 2015

TERNYATA, OMZET BESAR BUKAN JAMINAN ‘PEGANG’ UANG

Selama ini pengusaha sering terjebak dengan pemikiran, bahwa profit besar menandakan bisnis yang sehat. Padahal selain profit, kondisi perusahaan yang optimal juga tergantung pada omzet dan cashnya. Lalu mana yang lebih penting, omzet, profit atau cash? Dan bagaimana juga membedakannya.
Menjawab problem ini, ActionCOACH BARACoaching Surabaya mengadakan bincang bisnis, khusus dengan para pengusaha, Sabtu (08/08/15) lalu. Bertempat di office BARACoaching, bincang bisnis ini menghadirkan Coach Humphrey Rusli, sebagai pembicara.
Dari pengalaman mengcoaching ratusan pengusaha, pelatih bisnis terbaik Indonesia tahun lalu ini mengungkapkan, kebanyakan pengusaha fokus ke omzet, dengan asumsi omzet besar sudah pasti profit besar dan juga punya uang (cash).
“Faktanya justru tidak demikian. Banyak omzet belum tentu ada profit, dan ada profit di atas kertas juga belum tentu ada cash di kantong. Masing-masing omzet, profit, dan cash punya aturan main yang berbeda-beda dan disiplinnya pun tidak sama,” tegas Coach Humphrey.
Lalu bagaimana strategi untuk menyeimbangkan ketiganya, agar pertumbuhan perusahaan jadi optimal? Coach Humphrey kembali memaparkan, untuk menyeimbangkan omzet, profit, dan cash dibutuhkan catatan yang jelas di masing-masingnya. Tidak boleh dicampur adukkan.
“Mulailah dari pencatatan cash dulu. Pastikan kewajiban pembayaran pada pihak-pihak lain seperti supplier, gaji karyawan, dan lain-lain, bisa di forecast dan diplanningkan lebih dulu. Setelah itu, pencatatan profit untuk memastikan usaha penjualan kita membuahkan profit yang steady dan stabil.”
Banyak hal dikupas dalam bincang bisnis ini. Selain apa saja bekal yang harus dimiliki untuk mengatur ketiganya, pemenang Coach of The Year ini juga berdiskusi dengan peserta tentang perbedaan omzet, profit, dan cash, mana yang lebih penting, serta bagaimana aplikasi dan pengaturannya di bisnis, mulai dari bisnis yang bergerak di bidang jasa maupun produk.

Dalam wawancara terpisah, pelatih bisnis yang sudah melatih ratusan pengusaha ini berharap, para peserta paham akan prioritas dan mampu memilah dengan disiplin tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengoptimalkan masing-masing dari omzet, profit, dan cash

KORELASI 1D PADA BISNIS - By: Coach Ruaniwati**

1D, biasa disebut One Direction, meski baru saja kehilangan seorang anggota, Zayn Malik bulan Maret lalu, mereka come back dengan 4 anggotanya mengusung single terbaru "Drag Me Down" 
Lagu ini diluncurkan 31 Juli lalu dan sudah jadi nomor satu di chart musik di 86 negara seluruh dunia pada 04 Agustus (2015). Pencapaian yang luar biasa bukan? Fenomenal!
Sebelum tahu fakta ini, saya BUKAN "fans" mereka. Saya pikir mereka hanyalah another boy band. Walaupun sering mendengar lagu-lagu mereka, saya tidak ingin tahu tentang mereka.
Iseng-iseng saya nonton konser mereka di youtube karena penasaran apa yang bisa membuat mereka fenomenal. Ini beberapa hal yang saya amati dari mereka:
1. Para fans sangat commited, bela-belain nonton, hafal lagu-lagunya, ikut menyanyi dengan sangat antusias, energinya luar biasa.
2. Script di lagu-lagu mereka "gue banget" bagi fans-nya.
3. Suara mereka keren dan mereka apa adanya alias tidak jaim, original.
4 Album rekaman mereka ditangani dengan baik oleh Syco (milik Simon Cowell salah satu juri American Idol).
5. ... (isilah dengan versi Anda tentang 1D)
Dan serangkaian orang-orang di belakang layar yang menolong mereka sukses. Lalu apa korelasi 1D ini dengan bisnis?
Faktor-faktor apakah yang dapat ditemukan di bisnis Anda, jika didayagunakan dengan baik mampu menjadikan Anda pemimpin pasar? Apakah itu keunggulan produk? Keunggulan layanan, tim yang mumpuni? Kelengkapan produk? Apakah usaha Anda menjadi solusi bagi customer?
Apakah Anda memiliki kerjasama strategis yang jika diusahakan dengan tepat mampu menjadi daya ungkit usaha Anda? Temukan serangkaian keunggulan di bisnis Anda, perdalam dan gunakan untuk kemajuan Anda.
Ingin share pengalaman Anda menemukan keunggulan-keunggulan ini? Silakan email ke ruaniwati@baracoaching.com.

Salam The Next Level

** Coach Ruaniwati: pelatih bisnis dengan pengalaman lebih dari 16 tahun di bidang marketing, branding, dan advertising.

Senin, 10 Agustus 2015

“Dalam Bisnis, Perlu Tidak Kita Membentuk Multi Segmen? atau Cukup Fokus di Satu Segmen Saja?” (Hasil FDG IX)

Moderator : Coach Humphrey Rusli

Hasil penelitian/ jawaban kuesioner :

  1. Apakah jenis bisnis/ perusahaan anda?
60% responden penelitian ini bergerak dibidang manufacture, sedangkan 40% nya
bergerak dibidang jasa.

2.       Anda menyadari segmentasi produk/ jasa anda pada saat :
Sebanyak  47%  responden menjawab bahwa mereka menyadari segmentasi produk/ jasa mereka pada saat  mereka akan memulai bisnis. Sedangkan sebagian besar yaitu 53% responden menyadari segmentasi produk/ jasa mereka pada saat bisnis sudah berjalan.
  1. Tujuan segmentasi dalam bisnis anda (jika ada) adalah
·         Sebagian besar berpendapat bahwa segmentasi ini sangat diperlukan terutama
agar fokus  dan mengetahui target pasar.
·         Mengelompokkannya untuk memerluas bisnis serta
·         Menentukan strategi baik di harga, promosi maupun perlakuan konsumen

  1. Menurut anda bisnis yang bagaimana yang perlu fokus di satu segmen saja ?
·         Bisnis yang baru dimulai
·         Bisnis yang memiliki banyak kompetitor
·         Bisnis yang memiliki niche market dan unik
·         Bisnis yang B to B

  1. Menurut anda bisnis yang bagaimana yang perlu fokus di multi segmen ?  
·         Bisnis yang sudah stabil dan yang ingin berkembang/ mengembangkan
bisnisnya lebih luas lagi.
·         Bisnis yang sudah stagnan di satu segmen saja
·         Bisnis yang tidak memiliki keunikan
·         Bisnis Manufacture

Segmen adalah market kita baik menengah atas maupun bawah. Dalam berbisnis apakah kita harus :
  1. Mencari segmen dulu baru menyediakan barang/ jasa atau
  2. Menyediakan barang/ jasa dulu baru mencari segmen?

Dua-duanya bisa dilakukan tetapi dua-duanya pun memiliki perbedaan, pada poin pertama harus memiliki disiplin dalam network, logistic, supply chain management dan multiple supplier. Sedangkan pada poin kedua, harus memiliki kemampuan tertentu, memiliki kualitas dan memiliki market research.
Parameter segmen bisa di kategorikan dari :

-          Gender, usia                             -  Lifestyle
-          Profesi,                                     -  Hoby
-          Strata Ekonomi Sosial              -  Profesi
-          Tingkat pendidikan,                  -  Kebudayaan
-          Tingkat pendapatan,                 -  Teritorial

Bagi pebisnis pemula, disarankan untuk tidak mementingkan segmen dulu tetapi lebih kepada bagaimana mendatangkan konsumen dan mendatangkannya lagi.
Sekarang bisnis sudah sulit disegmenkan, yang benar adalah kita harus bisa menciptakan segmen, mengapa sulit disegmenkan? Karena:

  1. Saat ini teknologi sudah sangat terjangkau, informasi cepat sampai ditangan konsumen dan konsumen saat ini bisa menjadi golongan yang bisa masuk kesemua segmen.
  2. Kondisi keuangan, dimana saat ini banyak fasilitas-fasilitas yang memudahkan dalam meminjamkan uang. Sehingga dengan kemudahan tersebut orang bisa menjadi segmen/ golongan menengah atau atas.
  3. Produk/ jasa saat ini sudah sulit diklarifikasi karena memiliki perbedaan yang tiipis, kecuali barang/ jasa yang premium sekali.

        Kita harus menciptakan segmen dengan mencari Needs dan Wants konsumen. Wants yaitu apa yang konsumen inginkan dan Needs adalah kita menjual apa yang mereka butuhkan. Apapun produk/ jasa anda apakah yang mau dan yang suka cukup banyak? untuk mengetahuinya kita bisa melakukan tes market, dan jika tidak ada yang mau berarti produk/ jasa kita tidak memiliki segmen.

Jika kita bisa menangkap apa keinginan konsumen maka dari serangkaian keinginan-keinginan tersebut kita bisa menarik benang merah segmen bisnis kita. Seorang pebisnis harus mampu :

1.       Mencari formula mengapa konsumen mau datang sampai menemukan segmen yang kita ciptakan sendiri.
2.       Mampu membuat sinergi sebelum expansi. Sinergi yaitu apakah bisnis anda sudah memiliki sistem yang saat anda tinggal bisa tetap berjalan baik marketing, sales, service maupun operasionalnya.

Yang perlu tekankan yaitu strategi mencari dimana Wants-nya, karena untuk Needs-nya bisa/ mudah di copy oleh orang lain.

 
Ingin Mengikuti Forum Diskusi Grup (FDG) ini tiap bulan?
Segera Daftar jadi Member, FREE

Research & Development Team

SENSASI ‘ROLLER COASTER’ - By: Coach Suwito Sumargo**

Pernah naik roller coaster? Bagaimana rasanya, menegangkan bukan? Saya merasakan ketegangan naik roller coaster untuk pertama kalinya, di Jakarta. Dengan gaduhnya saya menceritakan pengalaman itu. Sensasi pertamanya itu lho, yang saya ceritakan kemana-mana. Tegang, takut, gemetaran, tapi sekaligus juga menyenangkan. Heboh deh, rasanya.
Meskipun senang, namun sampai beberapa tahun kemudian saya tidak mau naik lagi. Setelah itu saya hanya berani naik roller coaster yang levelnya lebih ringan, untuk anak-anak.
Pengalaman pertama, seharusnya mengasyikkan. Mengapa? Agar kita mau dan ingin mengulanginya berkali-kali. Pengalaman saya naik roller coaster memang mengasyikkan. Tapi saya tidak tergerak untuk merasakannya lagi. Kapok!
Setelah tahun 1990an, barulah saya naik roller coaster lagi. Kali ini di Disneyland. Ternyata, apa yang saya rasakan berbeda. Lebih menyenangkan dan keteganganpun berkurang. Sejak itu, dengan agak memaksa, saya ajak anak-anak untuk merasakan naik roller coaster. Kami pun bersenang-senang dan menikmati naik roller coaster.
Bagaimana dengan yang terjadi di bisnis kita? Apakah Anda mempersiapkan sedemikian rupa, sehingga pengalaman pertama membeli atau memakai produk Anda, benar-benar meninggalkan kesan positif yang mendalam? Dan bukan sebaliknya, malah meninggalkan kesan negatif sehingga si calon pembeli kapok!
Apakah Anda punya pengalaman serupa? Atau Anda bisa menceritakan, bagaimana menyiapkan agar pembeli merasakan pengalaman pertama yang positif?
Musik apa yang Anda perdengarkan di toko Anda? Bagaimana body language karyawan kita, saat menyapa pelanggan? Bagaimana tampilan toko kita? Aroma apa yang tercium di lobby atau ruang tunggu? Bagaimana dengan temperatur ruang? Apakah kita sudah mempersiapkan dengan baik?
Share pengalaman Anda by email: suwito@baracoaching.com. Mari berbagi pengalaman, siapa tahu jawaban Anda bisa menginspirasi teman-teman kita.
Salam The NEXT Level!

** Coach Suwito Sumargo: The Winner Supportive Coach Award & System Award 2014 (Business Excellence Forum Award 2014)


Kamis, 06 Agustus 2015

MEMBERIKAN “IKEA EFFECT” KEPADA KONSUMEN ANDA - By: Coach Humphrey Rusli ***

Pernah dengar brand IKEA? Saya yakin anda sudah pernah dengar dan malah pernah menggunakan produknya. Terutama bila anda pernah jadi mahasiswa yang merantau di luar negeri untuk sekolah, dan pas-pasan kantongnya seperti waktu saya dulu kuliah.
Dulu, saya sering mengunjungi toko mebel IKEA untuk sekedar membeli perabot-perabot yang relatif murah, pas-pasan kekuatannya, namun ringkas tempat alias tidak terlalu makan tempat ketika dimasukkan ke dalam flat apartment saya yang kecil.
IKEA, produsen furniture terbesar di dunia asal Swedia ini sangat terkenal dengan efisiensinya sehingga bisa menekan cost yang berujung pada lebih "murah"nya harga produknya dibanding toko-toko mebel sejenis. Mengapa bisa demikian efisiensi? Karena (hampir) seluruh produknya didistribusikan dalam kondisi knockdown (sangat hemat tempat) dan ketika terjual secara retail ke anda pun, anda akan membawa pulang dalam kondisi knockdown (sehingga kadang tidak butuh kendaraan besar, cukup mobil niaga sudah memadai) untuk nanti sampai di rumah anda, disusun menjadi mebel utuh siap pakai. Nah, inilah salah satu faktor utama yang membuat cost IKEA bisa ditekan serendah mungkin.
Apakah secara mutu dan kualitas produk IKEA lebih baik dibandingkan furniture yang lain? Tentu tidak. Bahkan sangat sering orang "menyindir" kualitas IKEA sebagai kualitas sub par alias di bawah standard dan ada pula yang bilang beli produk IKEA seperti beli produk MockUp, yaitu produk semi jadi, dan belum siap pakai.
Lalu mengapa perusahaan ini semakin jaya dan jumlah konsumennya bukannya semakin turun namun semakin berlipat ganda dari tahun ke tahun? Saya dulu berpikir bahwa konsumen IKEA pasti hanyalah mahasiswa-mahasiswa yang belum berkantong tebal. Saya salah! Orang yang sudah jauh lebih mampu secara finansial pun sering membeli produk IKEA.

Apa Gerangan Resepnya?
Jawabannya: IKEA Effect. Apa ini?
Salah satu studi tentang Customer Behavior di USA mengadakan penelitian menarik tentang bagaimana konsumen IKEA ternyata jauh lebih cinta dengan furniture IKEA bukan karena mutunya, namun karena mereka harus sedikit berjerih payah untuk menyusun perabot mereka sendiri.
Benar! IKEA "memaksa" konsumennya untuk mandiri dan dengan bekal buku petunjuk dan alat-alat sederhana, konsumen diarahkan untuk menyusun sendiri perabotnya sampai di rumah. Namun alih-alih konsumen jera, malahan mereka lebih mengapresiasi hasil karya atau buah tangan mereka sendiri dibandingkan membeli mebel yang sudah jadi.
Ini yang dimaksudkan dengan IKEA Effect. Kita secara irasional menaruh tinggi rendahnya nilai sebuah produk berdasarkan seberapa besar effort, waktu dan tenaga kita tercurahkan. Semakin besar tenaga kita yang tersita, semakin kita "sayang" akan produk tersebut.

Bagaimana Meniru IKEA Effect Untuk Bisnis Anda?
Libatkan konsumen anda untuk memberi saran, memperbaiki kondisi pelayanan dan mutu produk anda. Ini bukan sekedar survey saja, namun lebih dari itu, kasih konsumen anda untuk berkreasi bersama anda.
Berkreasi tidak harus ikut bekerja, cukup ikut memperhatikan proses kerja anda pun sebenarnya sudah memiliki kesan ikut bersumbangsih. Contoh: restoran yang menggunakan konsep open kitchen. Para pengunjung bisa ikut melihat secara transparan serta menikmati demo dari sang chef dalam mengolah makanan. Ini pun sudah termasuk IKEA Effect.
Atau di manufacturing, konsumen boleh ikut masuk ke dalam dan melihat proses produksi. Inipun sudah termasuk IKEA Effect.
Kesimpulannya:
1. Libatkan konsumen secara fisik: berdiri, mengamati, menyusun, dan sebagainya.
2. Libatkan konsumen secara emosional: menunggu, berpikir, mendengarkan, dan sebagainya.
3. Tunjukkan bahwa proses yang mereka lalui membuahkan reward yang instant. Contoh: IKEA memberikan harga lebih murah karena anda yang menyusun sendiri, restoran open kitchen memberikan "jaminan" prosesnya higienis karena anda pun bisa melihat langsung, dan sebagainya.
Nah, sudahkah anda memiliki "IKEA Effect" untuk konsumen anda?
Salam The Next Level!

*** Coach Humphrey Rusli:
- Coach of the Year 2014 (BEF Award Indonesia 2014) ;                                                
- Sales Coach of the Year 2012 se-Asia dan Australia;

- Associate Coach of the Year 2013 tingkat Internasional (44 negara).

Selasa, 04 Agustus 2015

JUALAN ALA ‘PEMBURU’ ATAU ‘PETANI’?

Menjual itu tidak cukup dari cara menyampaikan saja. Diperlukan strategi, kapan saat sales memakai topi seorang ‘pemburu’, dan di waktu lain berganti topi menjadi ‘petani’. Seperti apa itu? Hal ini dipaparkan dalam training “Be A Hunter or A Farmer”, Rabu (29 Juli ’15) lalu.
Erfina Hakim, selaku pembicara menjelaskan perbedaan antara teknik sales hunter (pemburu) dan farmer (petani). Teknik hunter lebih bersifat hard sales, karena memang langsung ‘to the point’ menjual pada calon customer. Berbeda dengan teknik farmer yang lebih bersifat soft atau tak kentara dalam menjual.
Lebih lanjut, Head of Training Division BARACoaching Surabaya ini berujar, bertindak ala hunter atau farmer sangat tergantung dari konsep awal sebelum aktivitas sales marketing dilakukan.
“Dalam artian, bisa dilakukan sebagai tanggung jawab berbeda dari 2 tenaga sales marketing. Atau sebaliknya, 1 orang bisa sekaligus punya tanggung jawab sebagai hunter dan farmer. Tergantung kebijakan perusahaan.”
Kondisi saat ini, banyak pembeli lebih canggih dari tenaga sales, target penjualan yang menantang di persaingan ketat, serta kecenderungan pesaing yang lebih baik, sehingga nilai unik yang dimiliki semakin terkikis.
“Hal itu menjadi alasan kuat, mengapa seorang business owner jangan hanya melulu memberi target penjualan tanpa memahami teknik dan strategi bagaimana menjalankannya,” tegas wanita yang lebih dari 15 tahun berpengalaman di dunia sales marketing ini.
Banyak hal diajarkan dalam half day training ini. Selain poin utama teknik hunter dan farmer, mengenal kualifikasi hunter-farmer, masing-masing job desk dan dalam situasi seperti apa peran hunter-farmer dijalankan, bahkan hanya oleh satu orang saja.
Di sesi terakhir, Erfina memaparkan seperti apa penilaian kinerja sales yang mengemban tugas hunter maupun farmer.

”Parameter kinerja si hunter adalah dengan melihat banyaknya traksaksi atau angka penjualan yang dihasilkan. Sedangkan farmer, dengan melihat berapa banyak yang dia temui, layani, lalu progressnya seperti apa, dan juga estimasi jangka waktu untuk menjadi hot prospek.”