business-forum

coaches

More Video! Visit : BARACoaching Channel on Youtube

Senin, 02 April 2018

MENJAGA ATAU MENGOBATI - By: Coach Suwito Sumargo*


Aduh...keluh seseorang sambil memegang pipi kanannya. Jelas dia sedang kesakitan. Dan saat diperiksa, memang giginya sedang bermasalah dan gusinya sudah meradang. 
Saya teringat dengan salah seorang pengusaha wanita yang hari itu hadir sebagai peserta seminar. Singkat cerita, Ibu ini akhirnya mendaftarkan diri untuk Business Evaluation. Ini sebuah sesi yang bertujuan mengenali kondisi perusahaan dan berusaha menemukan langkah-langkah terbaik atau paling masuk akal untuk pengembangan. 
Tapi, seringnya kita malah menemui bisnis yang masalahnya sudah sangat parah dan membutuhkan solusi mendesak. 
Mirip dengan kondisi seseorang yang datang ke dokter saat sakit dan terpaksa harus menelan pil pahit atau bahkan terpaksa diamputasi demi memperoleh kesembuhan. Maka untuk memperbaiki kondisi sebuah perusahaan yang sudah dalam keadaan sangat parah, kita terpaksa harus kehilangan asset, omzet, pelanggan, atau pangsa pasar, dan lain-lain. 
Mengapa kita tidak berusaha agar bisnis tetap sehat? Kenapa kita baru berpikir keras untuk ‘berobat’ saat bisnis sudah terseok-seok? Bukankah lebih mudah menjaga atau mempertahankan bisnis yang sedang sehat agar tetap sehat?
So, cek kesehatan bisnis Anda mulai sekarang, sebelum terlambat!
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.
- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 19 Maret 2018

MENGUKUR KOMPETENSI - By: Coach Suwito Sumargo*


Saya sering mengajarkan: upah itu setara dengan kompetensinya. Kesulitannya ialah bagaimana mengukur kompetensi seseorang. Kompetensi pasti sejalan dengan skill atau keterampilan. Mari kita pahami dulu, bagaimana mengukur keterampilan.
Seseorang diminta mengisi data customer ke sebuah form. Tentunya, ia menggunakan keyboard untuk mengetik. Ada rentetan pertanyaan yang harus diisi oleh customer. Misal ada 24 pertanyaan. Dalam waktu 1 jam, orang ini berhasil mengisikan data 20 orang customer.
Diantara 5 orang yang diminta mengisikan data, ada 2 orang yang bisa mengisikan lebih dari 20 customer dan ada 1 orang yang hanya mampu mengisikan data 12 customer. Orang yang mampu mengisikan data 12 customer terpaksa digugurkan, karena terlalu lamban. Sedangkan yang berhasil mengisikan lebih dari 20 data menerima ekstra bonus.
Itu adalah salah satu cara mengukur keterampilan. Bila seseorang menguasai banyak keterampilan dan ia secara konsisten senantiasa bisa memenuhi syarat mininal, maka orang ini saya anggap kompeten.
Kompetensi berkaitan dengan penguasaan beberapa keterampilan, yang selalu bisa didemonstrasikan secara terus menerus (konsisten). Kompetensi harus diberi nilai rupiah, sebagai penghargaan atas kontribusinya terhadap omzet dan (terutama) profit.
Salam The NEXT Level!


* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.
- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 05 Maret 2018

BISNIS ‘PANJANG UMUR’ - By: Coach Suwito Sumargo*


Apa saja yang dibutuhkan agar bisnis bisa berumur panjang? Itu pertanyaan saya di sebuah acara business gathering
Bisnis itu harus 'sehat'. Demikian jawaban seorang pria di depan saya. Dari wajahnya, terlihat beliau sudah senior, sudah banyak makan “asam garam”.
Yang dimaksud sehat itu seperti apa? Tanya saya lagi, sambil memberi kesempatan pada hadirin yang lain untuk menjawab.
“Sehat keuangannya”, sergah seorang ibu yang duduk di barisan tengah.
“Bisnisnya bertumbuh”, jawab yang lainnya.
“Selalu berpromosi”, kata anak muda yang duduk di belakang.
“Brand atau merk nya terkenal...”
“Pemiliknya karismatik”...”Karyawan nya bekerja dengan antusias”...dan banyak jawaban lainnya.
Saya pun lalu berusaha memberi kesempatan kepada masing-masing yang hadir, untuk menyampaikan argumen tentang bisnis yang sehat itu seperti apa.
Keuangan? Ya tentu saja keuangannya harus baik. Seperti apa? Misalnya, meski memiliki hutang, tapi perusahaan itu bisa memenuhi kewajiban (membayar) sesuai kesepakatan awal.
Ada lagi, yaitu selalu tersedia uang cash dalam jumlah yang cukup. Atau perusahaan itu tidak membiarkan uang kas mengendap dan tidak produktif. Dan ada banyak lagi argumen.
Bagi saya, sebuah perusahaan dibilang sehat bila selalu punya produk yang diminati konsumen. Dengan demikian, arus penjualan yang menghasilkan cash dan profit akan selalu terjaga. 
Bagaimana kita bisa selalu memiliki produk yang diminati konsumen? Ya kita harus melakukan riset dan pengembangan terus menerus. Cari tahu, apa yang diminati konsumen atau ciptakan tren kebutuhan konsumen.
Berikutnya, perusahaan harus bisa menjaga agar konsumennya selalu puas. Sebuah perusahaan yang mampu menjaga kepuasan konsumen, akan mudah meng-konversi konsumen (yang membeli untuk pertama kali) menjadi pelanggan (yang membeli untuk kedua, ketiga hingga kesekian kali).
Selalu menyediakan produk yang diminati dan memiliki pelanggan yang setia akan menjamin pasokan cash dan profit.
Inilah hal-hal yang harus dimiliki sebuah perusahaan yang sehat dan tentu saja berpeluang untuk berumur panjang.
Salam The NEXT Level!


* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.
- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 19 Februari 2018

BAHASA REKRUTMEN - By: Coach Suwito Sumargo*

“Dalam 9 bulan terakhir, sudah 5 gelombang proses rekrutmen, sudah ratusan surat lamaran yang masuk, sudah puluhan orang yang diwawancarai dan diberi kesempatan masa percobaan, tapi tidak ada satupun yang betul-betul memenuhi harapan manajemen”. Demikian keluhan seorang pengusaha.
Apa yang terjadi? Rasanya nggak masuk akal, begitu sulitnyakah untuk mendapatkan karyawan jempolan? Apalagi ini hanya untuk posisi admin, yang peminatnya berlimpah.
Selidik punya selidik, ternyata kriteria atau persyaratan yang diminta adalah sebagai berikut:
* Wanita, usia 18-25, single
* Cermat, cepat tanggap, konsisten dan sanggup bekerja di bawah tekanan 
Wanita, usia 18-25 dan single...ini pasti mudah terpenuhi. Apalagi tidak ada syarat pendidikan minimal atau keahlian tertentu.
Persyaratan cepat tanggap, sebetulnya tidak terlalu sulit dipenuhi. Atau minimal proses seleksinya cukup gampang, karena mudah dikenali.
Ternyata kesulitannya di persyaratan berikutnya: cermat, konsisten. Tidak mudah menemukan orang muda yang mau (dan mampu) bekerja dengan kecermatan tinggi. Apalagi dengan konsisten. Belum lagi persyaratan: sanggup bekerja di bawah tekanan. Kombinasi cermat, konsisten dan sanggup bekerja dibawah tekanan, merupakan persyaratan tersulit.
Dalam rekrutmen, apakah pernah terpikir, kesulitan yang kita hadapi, bukan hanya karena SDM yang susah dicari, tapi juga karena ‘kesalahan’ yang kita lakukan. Salah satu contoh yang sering tidak disadari adalah penggunaan bahasa dalam memasang lowongan kerja.
Sebagian besar perusahaan mungkin banyak memakai kata-kata yang sedikit ilmiah untuk menarik perhatian si pelamar. Selain terkesan ‘keren’, juga bisa menunjukkan kualitas perusahaan. Hal ini tidak salah. Untuk beberapa kasus, penggunaan bahasa ilmiah memang diperlukan. Misal ketika kita akan merekrut atau me’nyasar’ orang-orang di level manajerial atau mereka yang berstrata pendidikan tinggi.
Tapi pada kasus seperti pengusaha di atas, yang tidak ada syarat pendidikan minimal, coba kalimat cermat dan konsisten diganti menjadi: teliti, tekun, dan tidak mudah bosan. Saya yakin kalimat yang lebih sederhana itu lebih mengena dan mudah dimengerti oleh si pelamar. Dengan begitu, mereka juga dengan mudah punya gambaran, apakah pekerjaan yang akan dilamar, sesuai atau tidak dengan karakter mereka. Semoga bermanfaat!
Salam The NEXT Level!



* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 05 Februari 2018

KEPO AH… - By: Coach Suwito Sumargo*

“Masukkan 2 ekor ayam dewasa, ke dalam sepanci besar air bersih. Panaskan panci itu dengan api kecil selama 4 jam. Lalu dinginkan.”
Ini adalah resep andalan nenek, saat membantu kakek berjualan. Konon, kuah buatan nenek sangat terasa kaldunya. Angka-angka dan urutan di atas hanya karangan saya. Karena yang sebenarnya jauh lebih rumit.
Pokok permasalahannya adalah si Kakek (dan juga anaknya) hanya bisa berjualan mulai siang sampai sore. Menjelang magrib, kuah sudah habis. Lalu, bagaimana caranya menambah omzet (dan laba tentunya)?
Cucu tertua, enggan melanjutkan usaha si Kakek. Penghasilannya tidak sepadan dengan kerjanya. “Nggak worth it”.
Cucu kedua, mau melanjutkan dengan syarat: diperbolehkan melakukan perubahan. Setelah mendapat ijin, si cucu melakukan serangkaian eksperimen.
Pertama, bagaimana memperbanyak jumlah kaldu? Gampang, kerja paralel 5 resep sekaligus. 10 ayam, 5 panci dan 5 kompor. Semua dibuat sama persis dengan takaran asli si nenek. Hasilnya diuji. Ternyata hasilnya sama baiknya dengan buatan si nenek.
Kedua, bagaimana kalau ayamnya diganti dengan ayam horn (bukan ayam kampung)? Atau, bagaimana kalau seharian kita terus berproduksi dan kaldunya disimpan dalam freezer? Si cucu terus bereksperimen.
Dalam bisnis, melakukan ekperimen (penelitian dan percobaan) penting dilakukan. Sebagian besar pebisnis sukses, memulai usaha kecilnya dengan terus bereksperimen, terus mencoba dan mencoba lagi (trial and error). Dari situ, mereka bisa menyesuaikan kondisi bisnis dengan perkembangan jaman, apa yang dibutuhkan konsumen saat itu, selalu berinovasi dan bahkan tidak jarang menemukan gagasan kreatif yang membuat produknya lebih ‘dilirik’ konsumen daripada kompetitor.
Kita sebagai pebisnis pun juga bisa melakukan pengembangan seperti itu. Kunci utamanya ada dalam benak dan hati kita. Curiosity atau rasa ingin tahu. Bahasa kerennya: KEPO. Ya, mulai sekarang ubah mindset dan tumbuhkan rasa ingin tahu yang kuat, gigih, pantang menyerah dan selalu mencoba hal baru.
Kenapa sih mesti begitu? Memangnya apa yang akan terjadi, jika hanya mengikuti alur bisnis yang ada, tanpa perlu repot ‘ngepoin’ banyak hal? Yang pasti, Anda akan menjadi pribadi monoton tanpa semangat bertumbuh. Bayangkan, jika kompetitor akhirnya berhasil mengalahkan Anda, tapi Anda hanya diam dan tidak tertantang mengejarnya. Mau menjadi pebisnis seperti itu?
So, mulai sekarang perbaiki diri, selalu ingin tahu, terus mencoba, dan jawab tantangan bisnis Anda!  
Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 22 Januari 2018

SKILL DAN ATTITUDE - By: Coach Suwito Sumargo*

Tangan laki-laki itu menancapkan ujung selang angin dengan terampil. Mimik mukanya menunjukkan bahwa ia sedang mengerjakan pengisian angin ke dalam ban dengan serius. Matanya memandang ke meteran dan ketika jarum mencapai angka tertentu, ia dengan sigap melepas ujung selang angin.
Selanjutnya ia menggelindingkan roda itu, dan memasukannya ke dalam bak air. Perlahan-lahan roda diputar sambil mencermati kalau-kalau ada gelembung udara yang keluar. Itu dikerjakan sekitar 5 menit. Dan wajahnya tampak lega ketika tak ditemukan gelembung udara yang merupakan pertanda kebocoran.
Laki-laki itu adalah salah satu teknisi terlatih. Sesungguhnya, tidaklah sulit melatih seseorang untuk memeriksa kebocoran. Itu pekerjaan yang tidak butuh kecerdasan. Di pekerjaan ini yang dibutuhkan adalah kecermatan, ketekunan dan kesungguhan. Ini attitude.
Attitude yang dimaksud di sini merupakan penunjang skill, seperti kecermatan, kegigihan, dan tidak ceroboh. Lebih ke reason (why)-nya, sense behind the action.  Misal, kenapa harus bekerja cermat. Jadi nggak asal kerja, namun menjaga kualitas kerja agar betul-betul sempurna dan hubungan baik dengan konsumen tetap terjaga.
Sebenarnya, tanpa attitude pun, bila pekerja itu dilatih bekerja dengan SOP dan sesuai urutan yang benar, pekerjaan pun akan bisa selesai dengan baik.
Hanya, perlu digaris bawahi, attitude dibutuhkan untuk menyempurnakan hasil kerja, sehingga relasi dengan pelanggan tetap terjaga. Bayangkan, bila ia ceroboh dan ternyata ban itu tetap bocor! Tentunya hal ini akan mengecewakan konsumen. Jadi, attitude tidak kalah pentingnya dengan skill.
Lalu bagaimana cara mengedukasi para karyawan kita, agar mereka tidak bekerja hanya mengandalkan skill, tapi juga punya kepekaan dan bekerja dengan attitude?
Salah satu cara paling mudah adalah dengan memberikan kesempatan, bisa dengan story telling atau saling sharing pengalaman kerja masing-masing. Berikan contoh pengalaman yang berhubungan dengan skill dan attitude. Sesi story telling dan sharing bisa diadakan secara berkala atau rutin. Misal setiap seminggu sekali atau bahkan bisa setiap hari di sela-sela evaluasi kerja.
Kedua, dengan mengadakan outbond. Aksi outbond bukan hanya melatih teamwork atau kerjasama, namun juga meningkatkan kepekaaan attitude, dengan menyelesaikan tugas yang diberikan saat outbond.  
Kesimpulannya, beberapa hal yang ingin dicapai melalui story telling, sharing dan outbond, diantaranya:
1.       Kepekaan terhadap kebutuhan masing-masing team member.
2.       Semangat untuk bekerjasama dalam mencapai target tim.
3.       Kerelaan untuk berbagi, mengalah dan berkorban demi mewujudkan tujuan bersama.
4.       Peduli pada kebutuhan konsumen atau pelanggan.
Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda punya cara lain untuk memberikan pelatihan skill dan attitude pada karyawan? Share pengalaman Anda dan dapatkan kesempatan bertemu dengan para pelatih bisnis Internasional. Salam The NEXT Level!

* Coach Suwito Sumargo:                                           
- Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
- The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
- The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah serta lebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.

Senin, 08 Januari 2018

WHAT’S IN IT FOR ME - By: Coach Suwito Sumargo*

Ini percakapan antara CS sebuah Bank dengan Pemilik Toko.
CS : Untuk ganti nama, bapak harus membuka rekening baru di cabang terdekat dengan toko.
Pe : Jadi untuk 3 toko dengan pemilik yang berbeda, harus buka 3 rekening baru? Apa nggak ada cara lain yang lebih simpel?
CS : Maaf pak, hanya itu caranya.
Pe : Lha, what's in it for me? (apa manfaatnya buat saya?). Kalau merepotkan, lebih baik saya batal saja, deh. 

Itu hanya cuplikan singkat. Percakapan sesungguhnya berlangsung cukup lama. Dan hasil akhirnya tidak memuaskan kedua belah pihak.
Sebagai pengusaha, kita sering kali terikat dengan SisDur atau SOP yang tidak fleksibel dan bahkan menyulitkan konsumen. Tentu saja, demi keseragaman, urutan kerja dan kontrol, staf kita biasanya dituntut untuk bersikap tegas dan mengedepankan disiplin.
Tapi, satu hal yang sering kita lupakan, yaitu: manfaat buat konsumen.
“Konsumen itu Raja”. Pepatah ini masih berlaku sampai sekarang, lho.
Konsumen butuh proses yang simpel, transparan, fair dan masuk akal. Mereka merasa, itu haknya sebagai konsumen. Dan bila konsumen tidak mendapatkannya, mereka akan protes. Atau, saat mereka kecewa, maka mereka tidak akan membeli lagi. Bahkan, tak jarang, konsumen mengumbar pengalaman yang tidak enak itu melalui SosMed.
What's in it for me, harus dipikirkan sejak awal. Bukan saja saat di tengah atau di akhir proses, tapi sejak sebelum launching, kita harus memikirkannya. Konsumen butuh tahu di awal: apa manfaatnya buat saya?
Sudahkah Anda memikirkannya?

Coach Suwito Sumargo:                                           
Memiliki pengalaman membangun Bisnis Keluarga dan franchise otomotif yang sukses selama lebih dari 30 tahun.
The Winner Supportive Coach of The Year 2014.
The Winner System Award 2014.

- Telah banyak membantu kliennya mendesain bisnis yang lebih efektif, lean dan lincah sertalebih menguntungkan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebocoran-kebocoran dalam bisnisnya.