Perusahaan keluarga merupakan cikal bakal berbagai perusahaan multinasional,
bahkan yang mampu menembus usia puluhan hingga ratusan tahun. Meskipun begitu, mengelola perusahaan keluarga ternyata punya tantangan yang berbeda dengan perusahaan
modern pada umumnya.
Ada 3 problem utama yang harus
diperhatikan, agar tidak tergerus ‘arus’ persaingan dunia bisnis. Mulai dari perencanaan suksesi yang matang, tata kelola yang profesional,
sampai masalah kesejahteraan.
1. Suksesi
Menentukan anggota keluarga yang akan menduduki pucuk pimpinan pada
suatu perusahaan keluarga, seringkali
merupakan masalah yang pelik. Hal ini terjadi karena adanya gap antara orang tua yang sekarang
memimpin dengan anak atau calon
penggantinya. Gap tersebut antara
lain dalam hal kapasitas, kapabilitas, karakter, kepemimpinan (leadership) ataupun keterampilan manajerial.
Demi menghindari masalah diatas, banyak orang tua yang mempersiapkan
anaknya dengan lebih sungguh-sungguh. Antara lain menyekolahkan mereka ke sekolah-sekolah terbaik, termasuk mengirim ke luar
negeri.
Ada juga orang tua yang memberikan kesempatan kepada anaknya untuk
bekerja di perusahaan sendiri sejak dini atau usia muda. Bahkan mengharuskan
anaknya untuk memulai karir dari jenjang terbawah.
Selain masalah gap,
hambatan lain dalam
suksesi, yaitu karena adanya budaya timur yang mengutamakan anak laki-laki (dan
anak sulung) saja yang berhak sebagai penerus (pimpinan) pada perusahaan
keluarga.
Perlakuan istimewa terhadap calon penerus ini tak jarang menimbulkan
gesekan dengan para professional yang
kadang-kadang justru memiliki banyak kelebihan atau keunggulan.
Masalah lain yang sering dikeluhkan adalah perbedaan karakter antara
orang tua dengan calon penerusnya. Bila sang orang tua punya daya juang yang
hebat karena memang ditempa oleh kehidupan yang penuh tantangan, maka
sebaliknya si calon penerus justru hidup berkelimpahan sehingga tidak memiliki
ketangguhan mental.
Dibanding 2 poin sebelumnya, pembentukan karakter
pada calon penerus merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Isu gender dan tradisi timur lain mungkin bukan merupakan masalah utama.
Sedangkan tentang pemilihan sekolah yang baik, tampaknya lebih
karena alasan lingkungan ketimbang mutu pendidikannya. Karena lingkungan inilah
yang membentuk karakter seseorang.
Lalu apa yang bisa dikerjakan orang tua dalam mempersiapkan anak yang akan
menjadi penerus?
Pembentukan karakter harus dilakukan sejak usia dini dan bahkan (bila
perlu) mengharuskan si anak untuk bekerja di perusahaan lain, demi membentuk
karakter, terutama sikap disiplin dan berani bertanggungjawab. Menyerahkan
pembentukan karakter ke tangan orang lain yang mampu lebih tegas ketimbang
orang tua kandung yang cenderung memanjakan.
2. Tata Kelola dan Keterlibatan Anggota Keluarga
Seringkali terjadi, anggota keluarga (saudara kandung, sepupu atau
paman-bibi) terlibat sejak awal dalam perusahaan keluarga. Awalnya keterlibatan
ini memang menguntungkan, karena ada rasa saling percaya satu sama lain.
Permasalahan baru muncul ketika para anggota keluarga ini memperoleh
keistimewaan yang tidak berdasar atau secara tidak fair. Keterlibatan anggota keluarga ini juga bisa berdampak makin
buruk, bila mereka lebih mengedepankan hak selaku pemilik perusahaan.
Perusahaan keluarga yang dikelola secara tradisional, seringkali tidak mempunyai batasan kepemilikan.
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan modern yang kepemilikannya berdasarkan
atas saham dan mempunyai struktur organisasi yang lebih profesional.
Untuk menghindari masalah ini, maka perusahaan keluarga sudah selayaknya
menerapkan tata kelola yang lebih profesional, memiliki struktur organisasi, job description, dll., yang harus dipatuhi siapapun, termasuk anggota
keluarga.
Tata kelola yang baik juga akan memberikan imbalan (= gaji, insentif,
bonus, dll.) yang wajar dan sesuai dengan kapasitas, kapabilitas, kompetensi
dan kinerja siapapun, termasuk anggota keluarga.
3. Kesejahteraan
Salah satu cita-cita pendiri perusahaan keluarga adalah menjaga agar
anak (keturunan) tetap dapat hidup sejahtera. Keuntungan yang dihasilkan perusahaan
menjadi sumber kesejahteraan anak-cucu.
Hal ini merupakan masalah pelik, karena seringkali generasi penerus
cenderung menikmati dan tidak menjaga kesinambungan perusahaan. Statistik mengungkapkan
bahwa amat sedikit perusahaan keluarga yang bisa berlanjut sampai generasi ke-tiga (12%), apalagi sampai generasi ke-empat (3%).
Persaingan yang semakin ketat, juga menggerus keunggulan perusahaan
keluarga. Pertumbuhan perusahaan yang melambat, mengurangi kemampuan perusahaan
dalam membagikan lebih banyak deviden.
Merosotnya
kesejahteraan bagi anggota keluarga, semakin diperparah bila terjadi perebutan
kekayaan diantara anggota keluarga.
Penulis:
Coach Suwito Sumargo**
** The Winner Supprotive Coach
Award & System Award 2014 (Business Excellence Forum Award Indonesia 2014)
0 komentar:
Posting Komentar